Salah seorang praktisi hukum asal Sultra Anselmus R Masiku menegaskan, tidak ada alasan untuk membunuh terlebih memakan hewan yang dilindungi di Indonesia.
Kritik itu menyusul beredarnya foto dan video di media sosial yang menampilkan seorang tenaga kerja asing (TKA) asal China yang memotong dan menguliti seekor buaya muara, di kawasan industri pertambangan, di Kecamatan Morosi, Kabupaten Konawe, beberapa waktu lalu.
“TKA asal China di Morosi memakan buaya sudah merupakan indikasi pelanggaran undang-undang, karena siapapun tidak berhak memakan hewan yang dilindungi di Indonesia,” kata Anselmus.
Proses hukum harus tetap berjalan bagi siapa saja yang melanggar Undang Undang Nomor 5 tahun 1990, yang merupakan otoritas Balai Gakum Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK).
“Jika memang buaya itu sudah mati, seharusnya pihak yang menangkap melaporkan kepada BKSDA, atau setidaknya pemerintahan terdekat,” jelasnya.
Senada praktisi hukum lain, Dahlan Moga mengatakan, tidak dibenarkan dengan alasan apapun mengkonsumsi hewan endemik, pihak yang berwenang harus tegas memberlakukan pelanggar undang-undang di Indonesia.
Ia menegaskan, jangan sampai ada alasan kalau TKA asal China memakan buaya di Morosi itu tidak dapat dikenakan undang-undang di Indonesia.
“TKA China makan buaya di Morosi bukan termaksud Warga Negara Asing (WNA) yang memiliki hak imunitas, pasalnya mereka bukan perwakilan dari kedutaan kerja sama bilateral negara,” katanya.
Sementara itu, Kasi Konservasi Wilayah II BKSDA Sultra, Laode Kaida mengatakan, seharusnya buaya atau hewan apapun yang telah masuk kategori satwa yang dilindungi harus dilepasliarkan ke habitatnya, atau ditempatkan di tempat aman dari manusia dan hewan pemangsa lainnya.
Baca Juga: Awal Mula TKA China Bunuh Buaya di Konawe, Perusahaan Minta Maaf
Hewan dapat dibunuh apabila keberadaannya mengancam manusia di sekitar sesuai UU.
Guna melakukan proses hukum terhadap TKA China, kini BKSDA Sultra telah menyerahkan seluruh proses hukum kepada Lembaga Hukum Lingkungan Hidup dan Kehutanan.
"Untuk proses hukum itu adalah kewenangan dari penyidik. Sedangkan BKSDA hanya fokus ke hewan satwanya," katanya.
Dikatakannya, barang bukti berupa tulang belulang sudah diserahkan ke Lembaga Hukum Lingkungan Hidup dan Kehutanan yang akan memproses terkait pidana pelaku yang membunuh dengan sengaja dan atau yang menjualnya.
Kita tentunya sepakat, bila masyarakat membutuhkan suasana kehidupan yang tenang di lingkungannya tanpa ada rasa takut dan cemas.
Sebaliknya juga, kita perlu tetap mempertahankan dan menjaga keberadaan satwa buaya agar tetap lestari, karena buaya juga punya hak hidup yang sama dengan manusia. (Sumber: Antara)