Namun kata Syarief, Demokrat memandang bahwa keberadaan PPHN memang diperlukan. Hanya saja tidak perlu sampai mengubah UUD 1945.
"Cukup melalui undang-undang. Karena dengan undang-undang seperti yang sudah dilakukan sampai sekarang ini melalui UU 17 dan UU 25 ternyata hasilnya juga," kata Syarief.
UUD 1945 Bukan Kitab Suci
Sebelumnya Ketua MPR Bambang Soesatyo atau Bamsoet mengatakan bahwa Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 bukan kitab suci.
Sehingga kata Bamsoet, bukan hal tabu jika ada amandemen untuk melakukan penyempurnaan. Sebabnya, menurut Bamsoet konstitusi akan terus berkembang menyesuaikan kebutuhan zaman.
"Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 memang bukanlah kitab suci, karenanya tidak boleh dianggap tabu jika ada kehendak untuk melakukan penyempurnaan. Secara alamiah, konstitusi akan terus berkembang sesuai dengan dinamika dan kebutuhan masyarakatnya," kata Bamsoet dalam pidato memperingati Hari Konstitusi dan Hari Lahir MPR, Rabu (18/8/2021).
Bamsoet sekaligus menyampaikan bahwa saat ini MPR mendapati adanya aspirasi masyarakat untuk menghadirkan Pokok-Pokok Haluan Negara (PPHN). Aspirasi itu yang kemudian direspons MPR untuk melakukan amandemen terbatas UUD 1945.
"Saat ini sedang ditunggu masyarakat, yaitu berkaitan dengan adanya arus besar aspirasi yang berhasil dihimpun MPR, yaitu kehendak menghadirkan Pokok-Pokok Haluan Negara," ujar Bamsoet.
Bamsoet menyadari bahwa jalan menuju ke arah amandemen memang masih panjang. Ia berujar jika mengacu pada 2 periode yang lalu, periode MPR 2009-2014 dan 2014-2019, PPHN umumnya hanya melalui undang-undang.
Baca Juga: Sebut Tak Ada Urgensinya Amandemen UUD 1945, Pakar Minta MPR Urus Menurunnya Demokrasi
Namun atas dasar rekomendasi MPR di dua periode tersebut dan periode MPR saat ini, MPR di bawah kepemimpinan Bamsoet diharapkan dapat mendorong PPHN dengan payung hukum yang lebih kuat, yaitu melalui TAP MPR.