Dalam praktek pesta demokrasi di Indonesia, realitas politik dan pemerintahan mencatatkan bahwa sejak Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden Tahun 2014 lalu, demokrasi bagi masyarakat terbelah menjadi golongan cebong, kampret, dan golput.
Bagi kalangan cebong, sosok Joko Widodo adalah keutamaan di Indonesia, dan bagi kalangan kampret, Prabowo Subiantoro adalah penyelamat bagi Indonesia. Sementara kalangan golput alias golongan putih, menjustifikasi sebagai yang cerdas dalam berpolitik.
Fenomena ini mirip dengan kritik Platon atas demokrasi. Filsuf Yunani kuno ini memandang bahwa demokrasi adalah rezim kebebasan dan kesetaraan. Ekses dari kebebasan yang kebablasan dan kesetaraan yang tak tahu batas malah memunculkan manusia tiranik.
Manusia tiranik begitu percaya dengan kata-kata dan opininya sendiri. Dengan bekal kebebasan dan kesetaraan, apa pun yang dipikirkan boleh dikatakan serta merta. Tanpa pandang bulu, bahkan terhadap presiden sekali pun, manusia tiranik melibas dengan kritik pedas.
Dalam demokrasi digital, warganet bebas berbicara apa saja. Ruang digital adalah agora bagi aksi demokratis bertindak lewat Facebook, Twitter, WhatsApp group, hingga kanal YouTube. Mungkin Platon tidak membayangkan isegoria atau kesetaraan berbicara di ruang publik menjadi sangat masif di ruang digital.
Demokrasi digital menjadi segampang ujung jempol manusia tiranik melemparkan isi hati dan benak kepala melalui kedipan layar ponsel pintar jutaan warganet. Menurut rohaniwan dan akademisi Dr. A. Setyo Wibowo (Basis, 2019), generasi cebong, kampret, dan golput adalah wujud manusia tiranik. Mereka tak saling berkomunikasi. Mereka hidup dalam dunianya masing-masing.
Literasi Demokrasi Digital
Dalam demokrasi digital, ruang publik seharusnya dapat dipertahankan sebagai kebebasan dan kesetaraan untuk bersama-sama membicarakan dan memutuskan persoalan-persoalan publik secara argumentatif.
Kehadiran manusia tiranik adalah ekses demokrasi itu sendiri. Berargumentasi dengan golongan ini akan menjadikan warganet hanyut dalam perlombaan ujaran kebencian dan banjir kabar bohong. Namun, tak jarang, aspirasi dan kritik di ruang digital berubah menjadi lelucon, parodi, dan yang penting viral.
Baca Juga: Pemerintah Terus Dorong Pemulihan UMKM dari Dampak Pandemi
Meskipun begitu, menurut Setyo, sejauh manusia tiranik tidak melanggar hukum, mereka harus dilindungi hukum. Namun, bila terjadi tindakan kriminal, tentu hukum harus ditegakkan. Kenyataannya, hukum belum mampu mencegah lahirnya manusia tiranik.