Lahir dan dibesarkan di komunitas kulit hitam di dekat pelabuhan selatan Basra, Maddah adalah salah satu dari sekitar 1 juta warga keturunan Afrika yang tinggal di wilayah Teluk.
Namun, "tidak semua orang Afrika yang tinggal di wilayah itu dibawa ke sini sebagai budak," kata Hesham Al-Awadi, seorang profesor sejarah dan ilmu politik di American University of Kuwait.
"Beberapa dari mereka datang secara sukarela karena berbagai alasan seperti ziarah atau perdagangan dan kemudian tinggal secara permanen."
"Kelompok lain dari populasi Afrika di Teluk adalah hasil perkawinan antara pelaut dengan penduduk setempat," tambahnya.
Maddah G. tidak tahu persis dari mana nenek moyangnya berasal, seperti banyak orang kulit hitam lainnya di kawasan Teluk.
Namun, "Apakah kakek-neneknya adalah budak atau bukan, hal itu tidak relevan," katanya, "Setidaknya bagi mereka yang terus menyebut orang kulit hitam Abeed di abad ke-21."
Bagian yang tidak banyak diketahui dari sejarah Teluk Perdagangan budak di Teluk sudah ada selama berabad-abad, tetapi baru betul-betul berkempang sejak tahun 1800-an.
Memiliki budak adalah tanda status, terbatas pada sekelompok kecil elit kaya, kata sejarawan Matthew S. Hopper dalam bukunya yang diterbitkan tahun 2015, "Slaves of One Master."
Budak tidak hanya dari Afrika, tapi juga datang dari berbagai tempat di Timur Tengah, Kaukasus, dan anak benua India, tulis Hopper.
Baca Juga: Polri Selidiki Kasus Dugaan Perbudakan Terkait Penemuan Karangkeng di Rumah Bupati Langkat
Perbudakan berubah pada paruh kedua abad ke-19, ketika permintaan global yang meningkat pesat akan buah kurma dan mutiara alami di kawasan itu, sehingga menciptakan kebutuhan mendesak akan tenaga kerja.