Rodi kian yakin dengan keberadaan PLTU dengan Co-firing memperburuk keadaan. Dalam beberapa tahun ini saja perkebunan kelapa miliknya juga ikut mati. Kondisi serupa, kata Rodi, dialami di lima kecamatan yang berada tak jauh dari PLTU.
Padahal kelapa merupakan sumber penghidupan utama selain sawah lantaran tidak memiliki masa waktu panen. ”Penghasilan dari kelapa jadi berhenti. Pohon kelapa habis. Dalam satu-dua tahun makin manjang dampak PLTU ke pohon kelapa. Semua mati. Tidak ada pohon kelapa saat ini,” ungkapnya.
PLTU Indramayu merupakan pembangkit yang dibangun oleh PT Pembangkit Jawa Bali (PJB) yang merupakan anak usaha dari Pembangkit Listrik Negara (PLN). Telah berdiri selama 12 tahun sejak peresmian pertama pada 2010 lalu, kapasitas energi yang dihasilkan dari pembangkit ini mencapai 1 x 1000 Megawatt. Pembangkit ini merupakan bagian dari rencana Presiden Joko Widodo untuk mewujudkan proyek 36.000 MW.
PLTU Indramayu telah menerapkan sistem Co-firing-sebuah sistem pembakaran bersama antara batubara dan biomassa yang bahannya dari bubur kertas, pellet kayu, hingga cangkang sawit. Kondisi itu dilakukan oleh PT PJB sebagai bagian dari uji coba Co-firing di 20 PLTU milik PLN.
Komunikasi Korporasi PT PJB, Andhanto KM menyampaikan pembangunan PLTU Indramayu masuk salah satu contoh penerapan PLTU Co-firing. Namun ia tidak dapat memastikan berapa persen penggunaan campuran batubara dan bahan lain untuk pembakaran PLTU Indramayu. ”Saya tidak hafal berapa persen co-firing di Indramayu,” ujarnya ketika dihubungi melalui telepon, Kamis, 16 Februari 2023.
Disinggung mengenai dampak PLTU Indramayu yang sebabkan polutan tebal akibat co-firing hingga terganggunya masyarakat sebab aktivitas PLTU, Andhanto, menyampaikan hal itu hanya klaim sepihak. Dia mengklaim, PLTU Indramayu telah melakukan uji emisi rutin untuk menghindari cemaran. “Setiap PLTU yang kami kelola selalu mengacu regulasi pemerintah. Sampai saat ini kami selalu memenuhi standarnya bahkan lebih tinggi standarnya. Kalau di Indramayu kalau enggak salah sudah hijau melebihi standar pemerintah,” ujarnya.
Aturan yang dimaksud oleh Andhanto merujuk pada Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan nomor 14 tahun 2020 tentang Indeks Standar Pencemar Udara yang merupakan pengganti dari Keputusan Menteri Lingkungan Hidup Nomor 45 tahun 1997 tentang Perhitungan dan Pelaporan serta Informasi Indeks Standar Pencemar Udara. “Konsen terkait emisi komitmen kami di perusahaan dan bisnis yang dikelola,” ucapnya.
Kendati demikian, saat Suara.com melakukan pengecekan indeks udara di wilayah Indramayu melalui peta kualitas udara berdasarkan citra satelit per 20 Februari 2022 diketahui bahwa kualitas polusi terkategori sedang dengan nilai PM 2.5 di Indramayu berkisar 3.8 kali.
Baca Juga: Hetero For Startup Season 3, Ganjar Pranowo Tak Menyangka Bisa Seluas Ini Jangkauannya
Sementara itu, organisasi masyarakat sipil yang berfokus pada isu pembangkit energi kotor, seperti TrendAsia mengungkapkan bahwa penerapan co-firing pada PLTU akan menimbulkan sejumlah masalah. Mulai dari abu keluar dari cerobong kian pekat karena ada campuran kayu, munculnya perdagangan bahan biomassa hingga potensi timbulnya emisi anyar dari penerapan co-firing.
Pada masalah rantai pasok PLTU Indramayu, Trend Asia menemukan adanya pemanfaatan serbuk kayu sejumlah 9000 ton yang dipasok dari luar daerah, seperti Kuningan, Subang, dan Cirebon. Serbuk gergaji yang dihasilkan dari pemasok sebatas suplai kebutuhan untuk co-firing tanpa melihat kualitas serbuk gergaji yang dihasilkan. ”Kualitas bahan buruk. Ada potensi membuat abu pekat,” ujar peneliti TrendAsia, Amelya Reza Oktaviani, Senin, 6 Februari 2023.
Kondisi pemanfaatan kayu, menurut TrendAsia, dapat menimbulkan deforestasi yang menghasilkan emisi karbon. Dalam perhitungan yang dilakukan Trend Asia ketika pemanfaatan kayu akasia sebesar 2.758.799 hektar maka potensi deforestasinya mencapai 1 juta hektar. Begitu juga dengan kayu kaliandra yang berpotensi deforestasi seluas 755 ribu hektar, gamal 2 juta hektar, dan eukaliptus 1 juta hektar ”Deforestasi berdampak langsung terhadap hilangnya stok karbon besar di dalam hutan alam,” ujar Amelya.
Sementara itu dalam hitungan penggunaan pelet kayu dari hulu ke hilir menghasilkan emisi karbon yang cukup banyak. Pada pohon akasia saja sebagai bahan bakar co-firing pada PLTU dengan kadar 10 persen di 107 unit termasuk PLTU Indramayu ternyata berpotensi menghasilkan setidaknya 13,22 juta ton karbon dioksida per tahun.
Sementara ketika menggunakan pelet kayu dari pohon gamal, maka dapat menghasilkan emisi total sebesar 26,68 juta ton karbondioksida, dan eukaliptus sebesar 12 juta ton karbon dioksida. ”Ini emisi yang cukup tinggi. Sumbangan emisi gas rumah kaca yang cukup tinggi dari biomassa kayu,” katanya.
Amelya menekankan, klaim pemerintah telah menghasilkan 575,4 GWh listrik bersih, alias netral karbon dari implementasi co-firing biomassa, sesungguhnya berasal dari asumsi yang keliru bahwa pembakaran biomassa di PLTU tidak menghasilkan emisi. “Khawatirnya, klaim ini dilegitimasi melalui perhitungan PTBAE-PU, dan memungkinkan PLTU co-firing melakukan perdagangan karbon,” imbuhnya.