Sayangnya, beberapa tahun terakhir, kawin tangkap justru dilakukan dengan paksaan, intimidasi, dan kekerasan terhadap wanita. Dengan mengatasnamakan tradisi, pelaku merasa berhak membawa paksa perempuan di Sumba untuk dikawini.
Belum lagi, mereka melakukannya tanpa ada rencana terlebih dahulu. Bahkan, dalam beberapa kasus, pelaku sampai membawa senjata seperti penculikan betulan. Tak heran jika hal tersebut dikecam publik dan berisiko membuat wanita trauma.
Tradisi tersebut saat ini juga bisa dibilang telah menjadi pertunjukan kejantanan dan kekayaan bagi pria Sumba. Praktik itu tak sejalan dengan penghormatan hak asasi manusia, di mana wanita pun berhak merasa aman dari ancaman kekerasan.
Kawin tangkap yang melenceng sudah melanggar berlapis hak asasi manusia dalam Konvensi Penghapusan Diskriminasi pada Perempuan (CEDAW) yang tercantum dalam UU RI No.7 Tahun 1984. Namun, keadilan hukum tetap sulit digapai.
Sebab, meski ditangkap secara paksa jika ada kesepakatan kedua belah pihak yang akan dinikahkan, maka pelaku bisa bebas. Di sisi lain, fakta yang sungguh memilukan pun sempat terungkap. Di mana korban kawin tangkap bukan hanya wanita dewasa.
Melainkan juga menyasar kepada anak-anak. Dengan kata lain, kawin tangkap ini turut meningkatkan angka perkawinan anak di Indonesia. Adapun korban yang menolak dikawini akan dicap sebagai aib keluarga. Mereka pun diejek tak akan bisa menikah.
Kontributor : Xandra Junia Indriasti