Suara.com - Ketegangan dagang antara Amerika Serikat dan China kembali memanas, kali ini menyeret platform media sosial populer, TikTok.
Melansir ANTARA, otoritas China menolak menyetujui kesepakatan pemisahan aset TikTok di AS menyusul pengumuman tarif impor baru oleh pemerintah AS terhadap berbagai produk asal China.
Padahal, kesepakatan tersebut sudah hampir mencapai tahap final pada 2 April lalu.
Rencana yang diajukan mencakup pemisahan operasional TikTok di Amerika ke dalam entitas perusahaan baru yang sepenuhnya berbasis di AS, dengan kepemilikan mayoritas saham berada di tangan investor Amerika.
Langkah ini sejatinya dirancang untuk meredakan kekhawatiran terkait potensi ancaman keamanan data nasional, serta sebagai jalan kompromi agar TikTok tetap bisa beroperasi di pasar AS tanpa harus menghadapi ancaman pelarangan total.
Namun, keputusan China untuk menahan restu terhadap kesepakatan tersebut menunjukkan bahwa ketegangan geopolitik dan perang dagang masih menjadi hambatan utama dalam upaya diplomasi ekonomi kedua negara.
ByteDance, perusahaan induk TikTok yang berbasis di China, dikabarkan akan tetap mempertahankan kepemilikan sebesar 20 persen dalam struktur perusahaan baru yang dirancang untuk mengelola operasional TikTok di Amerika Serikat.
Meski mayoritas saham akan dimiliki oleh investor asal AS, langkah ini menunjukkan bahwa ByteDance masih ingin memiliki pijakan strategis dalam bisnis TikTok, meski dalam format yang telah disesuaikan agar memenuhi regulasi dan kekhawatiran keamanan nasional AS.
Laporan Reuters menyebutkan bahwa kesepakatan tersebut sejatinya telah mendapat persetujuan dari berbagai pihak terkait mulai dari investor lama dan baru TikTok, pihak ByteDance, hingga otoritas Amerika Serikat.
Baca Juga: Masa Depan TikTok di AS: Dijual, Diblokir, atau Dimiliki Bersama?
Namun, ketegangan politik antara Washington dan Beijing kembali memanaskan suasana, apalagi setelah pemerintahan AS mengumumkan tarif impor baru terhadap produk-produk asal China.
Pada Jumat (4/4), Presiden AS Donald Trump mengumumkan akan menandatangani perintah eksekutif yang memberi waktu 75 hari bagi TikTok untuk terus beroperasi di Amerika, sambil menunggu kelanjutan proses negosiasi akuisisi.
Keputusan ini menjadi jeda penting di tengah tarik-menarik antara kepentingan bisnis, regulasi, dan geopolitik.

Pada hari yang sama, ByteDance mengeluarkan pernyataan resmi bahwa pihaknya masih berdiskusi dengan pemerintah AS untuk mencari solusi terbaik terkait masa depan TikTok di wilayah Amerika.
Dengan jutaan pengguna aktif dan pengaruh besar dalam industri media sosial global, nasib TikTok kini menjadi simbol pertarungan kekuatan ekonomi dan teknologi antara dua raksasa dunia.
Di tengah ketidakpastian ini, publik dan pelaku industri digital menanti apakah kesepakatan kompromi benar-benar akan tercapai, atau justru TikTok akan menjadi korban terbaru dari perang dagang yang belum usai.
Sementara itu, dinamika politik dan ekonomi global kian memanas setelah Presiden AS Donald Trump menandatangani perintah eksekutif pada Rabu lalu yang menetapkan tarif dasar sebesar 10 persen terhadap seluruh barang impor yang masuk ke Amerika Serikat.
Kebijakan ini dijadwalkan mulai berlaku pada 5 April dan menjadi pukulan telak bagi mitra dagang utama AS, terutama China.
Tak hanya itu, Trump juga mengumumkan bahwa tarif yang lebih tinggi dan bersifat resiprokal akan diterapkan mulai 9 April bagi negara dan wilayah yang memiliki defisit perdagangan terbesar dengan AS.
Kebijakan tarif ini dianggap sebagai langkah tegas dalam upaya meredam ketimpangan neraca perdagangan yang selama ini menjadi sorotan utama pemerintahan Trump.
Namun, keputusan tersebut tampaknya membawa konsekuensi serius terhadap kesepakatan bisnis lintas negara yang sensitif, termasuk rencana restrukturisasi operasional TikTok di Amerika Serikat.
Menurut laporan NBC News pada Jumat, pengumuman Trump mengenai tarif resiprokal itu secara langsung mengganggu proses finalisasi kesepakatan pemisahan divisi TikTok di AS—padahal sebelumnya, kesepakatan tersebut dilaporkan telah mendapat lampu hijau dari pemerintah China.
Langkah sepihak dari Washington memicu kekecewaan dari Beijing, yang kemudian menarik dukungannya dan menolak untuk menyetujui skema baru kepemilikan TikTok.
Keputusan ini memperlihatkan betapa rapuhnya kesepakatan internasional yang berada di bawah bayang-bayang perseteruan dagang antara dua kekuatan ekonomi terbesar dunia.
TikTok pun kembali terjebak dalam pusaran konflik geopolitik yang mempertaruhkan eksistensinya di pasar Amerika, sekaligus menyoroti risiko besar yang dihadapi perusahaan teknologi global saat beroperasi di tengah pertarungan strategi dan kepentingan negara.