Suara.com - Retorika keras kembali menggema dari Rusia setelah Vladimir Solovyov, tokoh media sekaligus loyalis Presiden Vladimir Putin, menyampaikan ancaman eksplisit terhadap Inggris, Amerika Serikat, dan negara-negara Barat lainnya.
Dalam siaran televisi nasional bertajuk Sunday Evening With Vladimir Solovyov, sang propagandis Kremlin itu menuding Barat secara langsung terlibat dalam perang melawan Rusia.
Ia juga memperingatkan kemungkinan pembalasan yang belum pernah terjadi sebelumnya, termasuk potensi penggunaan senjata nuklir.
"Inggris dan Amerika Serikat secara langsung melancarkan perang terhadap kita. Kami melihat dengan jelas bahwa apa yang disebut 'koalisi pembawa damai' itu sejatinya adalah pasukan intervensi. Dan mereka akan dihancurkan," tegas Solovyov, merujuk pada dukungan negara-negara Barat terhadap Ukraina.
"Anda harus sadar bahwa bukan hanya unit garis depan Anda di Ukraina yang akan hancur. Karena kami melihat ini sebagai bentuk partisipasi langsung negara-negara Anda, maka Anda akan merasakan konsekuensinya—konsekuensi yang belum pernah Anda lihat sebelumnya." tambahnya.
Pernyataan ini langsung memicu kekhawatiran global, terutama setelah Solovyov secara spesifik menyebut Inggris, Prancis, Jerman, dan negara-negara Baltik sebagai target potensial. "Nasibmu akan menyedihkan," ujarnya dengan nada mengancam.
Ancaman tersebut juga diperkuat oleh pernyataan rekan sesama penyiar Rusia, Margarita Simonyan, yang menanggapi sebuah artikel The Times yang membahas keraguan publik Inggris dalam mengirim pasukan ke Ukraina.
"Artikel itu secara tersirat bertanya, 'Haruskah kita terus maju?' Karena kalau iya, artinya kita akan mengirim pasukan kita. Apakah rakyat kita siap untuk ini? Karena rakyat kita bisa binasa," ujar Simonyan.
"Bukan hanya bisa binasa. Mereka pasti akan binasa. Kami akan membunuh mereka semua." lanjutnya.
Baca Juga: Heboh Isu Rusia Ingin Bangun Pangkalan Militer di Papua, TB Hasanuddin: Itu Langgar Konstitusi!
Rekaman mengerikan tersebut diterjemahkan oleh Russian Media Monitor dan segera menyebar luas, memicu kekhawatiran bahwa Rusia tidak hanya bermain retorika, tetapi benar-benar tengah menyiapkan skenario konfrontasi skala penuh terhadap NATO dan sekutunya.
Serangan Meningkat, Korban Sipil Berjatuhan
Di tengah peningkatan ketegangan diplomatik, situasi di lapangan semakin memburuk. Rusia terus menggempur wilayah-wilayah Ukraina dengan serangan rudal dan drone.
Salah satu serangan paling mematikan pekan ini terjadi di kota Sumy, Ukraina Timur Laut, di mana 35 warga sipil tewas dan lebih dari 100 lainnya luka-luka akibat serangan rudal Rusia pada hari Minggu.
Presiden Ukraina Volodymyr Zelensky mengecam serangan tersebut.

"Bukti nyata dari sikap Rusia terhadap perundingan damai." kata Zelensky.
Menurutnya, serangan terhadap fasilitas sipil memperlihatkan bahwa Kremlin sama sekali tidak berniat mengakhiri perang secara diplomatis.
Rusia sendiri mengklaim bahwa target serangan mereka adalah konsentrasi pasukan Ukraina di Sumy. Namun, hingga saat ini, tidak ada bukti pendukung yang diajukan untuk mendukung klaim tersebut.
Sekretaris Jenderal PBB António Guterres, melalui juru bicaranya, menyatakan keprihatinan mendalam.
"Serangan terhadap warga sipil dan objek sipil dilarang berdasarkan hukum humaniter internasional. Serangan seperti ini harus dihentikan segera, di mana pun itu terjadi," ujarnya.
Kerugian Rusia Mendekati Satu Juta Jiwa
Menurut data dari Staf Umum Ukraina, total korban di pihak Rusia sejak invasi penuh skala pada Februari 2022 kini telah mencapai 936.000 orang.
Dalam satu hari saja minggu ini, diklaim 1.050 tentara Rusia tewas dalam pertempuran.
Meski angka ini belum diverifikasi secara independen, jika benar, maka menjadi indikasi beban perang yang semakin berat di pihak Kremlin.
Perubahan Sikap AS?
Sementara itu, muncul laporan bahwa pemerintahan Presiden Donald Trump telah secara signifikan menurunkan jumlah uang yang diminta dari Ukraina untuk membayar kembali bantuan selama perang.
Menurut sumber internal di Gedung Putih, permintaan pembayaran tersebut kini turun drastis dari £225 miliar (sekitar Rp4.537 triliun) menjadi £75 miliar (sekitar Rp1.512 triliun).
Langkah ini disebut sebagai bentuk kompromi untuk menjaga hubungan dengan Kyiv di tengah tekanan domestik terhadap pengeluaran luar negeri AS.
Namun, hal ini juga dipandang sebagai sinyal bahwa Washington mulai mengevaluasi kembali keterlibatannya dalam konflik yang kian berlarut.