Suara.com - Video monolog Wakil Presiden RI Gibran Rakabuming Raka soal bonus demografi yang diunggah di kanal YouTube pribadinya menuai pergunjingan warganet.
Meski dibela pemerintah sebagai bentuk komunikasi publik, sejumlah akademisi menilai narasi yang dibangun Gibran terlalu jauh dari realitas yang dihadapi generasi muda hari ini.
Dalam video berdurasi 6 menit 19 detik berjudul 'Generasi Muda, Bonus Demografi dan Masa Depan Indonesia', Gibran menyebut Indonesia memiliki peluang besar melalui bonus demografi yang diperkirakan terjadi antara 2030 hingga 2045.
"Ini adalah kesempatan emas kita untuk mengelola bonus demografi agar bukan menjadi sekadar angka statistik, tapi menjadi jawaban untuk masa depan Indonesia," kata Gibran dalam monolog tersebut.
Namun di lapangan, video ini justru dibanjiri komentar bernada sinis hingga aksi dislike massal. Meskipun jumlah dislike sudah disembunyikan YouTube, kreator Andovi da Lopez mengungkapkan dalam video reaksinya bahwa rasio dislike mencapai 1 berbanding 12 dibandingkan like.
"Stop dislike video wapres kita!" seru Andovi, seraya meminta warganet untuk menghentikan aksi membully.
Sementara di sisi lain Wakil Menteri Sekretaris Negara (Wamensesneg) Juri Ardiantoro menilai unggahan Gibran merupakan upaya mengoreksi bias informasi di ruang publik.
"Kadang-kadang informasi yang beredar sering kali sudah bias dan tidak benar, karena itu baik sekali kalau para pejabat bisa menyampaikan langsung informasi yang benar," ujar Juri, Minggu (27/4/2025).
Ia menegaskan, penyampaian informasi oleh pejabat publik, termasuk lewat media sosial pribadi, adalah bagian dari tugas untuk menjaga keterbukaan.
Baca Juga: Monolog Gibran Dibela Wamensesneg: Pekerjaan Pejabat Itu Ya Bicara
"Salah satu pekerjaan pejabat itu ya bicara, menyampaikan hal yang menjadi kebijakan," lanjut Juri.
Namun, di sisi lain, sejumlah akademisi menilai isi monolog Gibran terkesan klise dan tidak menjawab masalah nyata yang dihadapi pemuda saat ini.

Sosiolog Universitas Jenderal Soedirman (Unsoed) Hariyadi menilai bahwa narasi bonus demografi menjadi tidak relevan jika melihat kondisi riil anak muda yang rentan dan terpinggirkan.
"Anak muda sekarang terlihat rentan, bahkan terpinggirkan yang langsung atau tidak merupakan dampak dari kebijakan negara itu sendiri," katanya, dikutip Sabtu (26/5/2025).
Dalam konteks politik, Hariyadi menambahkan, anak muda hanya dianggap sebagai objek suara dalam pemilu, bukan sebagai aktor aktif dalam penyusunan kebijakan.
"Mereka hanya dimanfaatkan untuk suara, tanpa diajak terlibat dalam proses yang menentukan arah bangsa," ujarnya.
Sementara, Peneliti Center of Economics and Law Studies (Celios) Nailul Huda juga mengkritik keras narasi bonus demografi yang dibawakan Gibran. Ia menilai realitas saat ini justru memperlihatkan potensi bencana demografi akibat tingginya pengangguran pemuda.
"Bonus demografi sudah menjadi bencana demografi ketika pemuda kita banyak yang menjadi pengangguran," kata Huda.
Data Badan Pusat Statistik (BPS) 2024 menunjukkan Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT) usia 15–19 tahun mencapai 22,34 persen, sementara usia 20–24 tahun sebesar 15,34 persen—jauh di atas rata-rata nasional yang hanya 4,91 persen. Bahkan hampir 10 juta Gen Z di Indonesia tergolong kategori NEET (Not in Employment, Education, or Training).
"Ini berarti banyak generasi muda kita yang tidak punya penghasilan tetap, tapi harus menghadapi biaya hidup yang terus melonjak," tegas Huda.
Menurutnya, semakin banyak anak muda yang bekerja di sektor informal dan menjadi setengah pengangguran tanpa akses jaminan sosial dasar seperti kesehatan dan pendidikan. "Tanpa pembenahan struktural, narasi bonus demografi hanya akan jadi retorika kosong," tambahnya.
Hariyadi Kembali menegaskan bahwa untuk mewujudkan bonus demografi, pemerintah tidak cukup hanya mengandalkan optimisme atau pidato motivasi.
Ia mengemukakan, diperlukan keberpihakan nyata, termasuk merevisi kebijakan seperti UU Cipta Kerja yang berkontribusi pada gelombang PHK dan stagnasi bisnis rintisan.
“Anak muda tidak dapat menjadi jawaban di masa depan jika regulasi-regulasi yang menindas masih terus dipertahankan,” tegasnya.
Sebagaimana disimpulkan Nailul Huda, apabila masalah struktural ini tak diatasi, generasi muda Indonesia hanya akan menghadapi masa depan yang penuh ketidakpastian, di tengah narasi besar tentang ‘bonus’ yang tak pernah benar-benar mereka rasakan.