Suara.com - Kepala Kantor Komunikasi Kepresidenan (PCO) Hasan Nasbi tidak mempersoalkan usulan Gubernur Jawa Barat (Jabar) Dedi Mulyadi untuk memberikan pendidikan siswa yang dianggap nakal ke barak TNI.
Menurutnya, tidak masalah dengan penerapan kebijakan tersebut asalkan tidak ada pelanggaran hak asasi manusia (HAM).
"Jadi sepanjang pembinaan-pembinaan itu tidak melanggar aturan, tidak melanggar hak-hak anak, tidak melanggar hak-hak mereka dipenuhi," kata Hasan di Menteng, Jakarta Pusat, Sabtu 10 Mei 2025.
Hasan mengatakan bahwa kebijakan untuk membawa siswa yang dianggap nakal ke barak militer juga termasuk bagian dari pembinaan.
"Jadi sepanjang tidak melanggar hal-hal yang prinsipil, sepanjang tidak melanggar hal-hal yang prinsipil, tapi pemerintah akan periksalah, akan kaji ini,” ujarnya.
Namun, Hasan belum bisa mengungkap sikap Presiden RI Prabowo Subianto terkait usulan ini.
Sebab, dia menyebut pemerintah belum mengkaji kebijakan tersebut untuk diberlakukan secara nasional.
"Kebijakan-kebijakan yang baru, kebijakan-kebijakan yang berupa inisiatif tentu akan dibahas nanti di pemerintah,” ujarnya.
Menurut dia, inisiatif baru seperti yang dimiliki Dedi Mulyadi ini memang harus dikritisi bersama, namun tidak perlu disikapi dengan antipati.
Baca Juga: Kak Seto Satroni Barak Militer di Purwakarta Besok: Jangan sampai Ada Pelanggaran Anak!
“Inisiatif-inisiatif baru ini jangan langsung antipati. Tapi kritisi secara bersama-sama. Ada sesuatu yang dilanggar atau ada sesuatu yang mungkin tidak terpenuhi nggak dari pola-pola pendidikan semacam itu,” katanya.
Sebelumnya, Gubernur Jawa Barat, Dedi Mulyadi, meluncurkan program pendidikan karakter yang kontroversial dari pengamat hingga mantan Komisi Perlindungan Anak dengan mengirimkan siswa bermasalah ke barak militer untuk pembinaan.
Program ini bertujuan untuk memperkuat karakter dan disiplin siswa melalui pelatihan semi-militer yang melibatkan TNI dan Polri di wilayah Jabar.
Meskipun mendapat dukungan dari beberapa pihak, seperti Kementerian Hukum dan HAM Jawa Barat, program ini juga menuai kritik dari Komnas HAM dan pengamat pendidikan yang khawatir terhadap dampak psikologis dan potensi pelanggaran hak asasi manusia.
Dedi Mulyadi sapaan akrab Kang DM menegaskan bahwa program ini dilakukan atas persetujuan orang tua siswa dan bertujuan untuk memberikan solusi nyata terhadap kenakalan remaja yang semakin mengkhawatirkan.
Mantan Bupati Purwakarta ini menyatakan bahwa pendekatan ini bukan bentuk pemaksaan, melainkan upaya pembinaan karakter bagi siswa yang sulit diatur.

Namun, pengamat pendidikan menilai bahwa pendekatan militeristik dapat memberikan stigma negatif bagi siswa dan memperparah kondisi psikologis mereka, serta menekankan pentingnya peran sekolah dan orang tua dalam mendidik anak-anak.
Program ini telah dilaksanakan di beberapa daerah, seperti Purwakarta dan Bandung, dengan melibatkan puluhan siswa yang mengikuti pendidikan karakter di barak militer.
Meskipun demikian, perdebatan mengenai efektivitas dan dampak jangka panjang dari program ini masih berlangsung di kalangan masyarakat dan pemangku kepentingan pendidikan. Bahkan, pemangku kepentingan pendidikan dari berbagai daerah saat ini menyoroti terobosan Dedi Mulyadi tersebut.
Menurut Menteri Hak Asasi Manusia (HAM) Natalius Pigai menyatakan bahwa kebijakan Gubernur Dedi Mulyadi untuk mengirim anak-anak yang dianggap nakal menjalani pendidikan di barak militer tidak melanggar HAM.
"Dalam perspektif HAM, saya pertegaskan tidak melanggar HAM karena kalau itu tidak dilakukan yang disebut corporal punishment,” kata Pigai, Selasa 6 Mei 2025.
Ia mengatakan bahwa corporal punishment ialah hukuman fisik seperti mencubit atau menjewer peserta didik sebagaimana yang kerap dilakukan tenaga pendidik di masa lalu.
Menurutnya, kebijakan yang dilakukan Dedi Mulyadi ini tidak memberikan hukuman fisik kepada siswa yang dianggap nakal sehingga tidak melanggar HAM.
Ia meyakini bahwa kebijakan Dedi untuk memberikan pendidikan kepada siswa yang dianggap nakal di barak TNI, justru akan memberikan pelatihan mental, disiplin, tanggung jawab hingga pembentukan karakter.
"Kalau itu, menurut saya, keyakinan saya, di Jawa Barat itu bukan corporal punishment tapi mereka mau dididik mental, karakter, dan disiplin, dan tanggung jawab," ujar Pigai.
"Kalau pendidikan yang berorientasi pada pembentukan disiplin, pembentukan mental, pembentukan karakter, dan pembentukan tanggung jawab, maka tidak melanggar HAM dan kami mendukung pemerintah Jawa Barat itu. Itu sikap kami," ujarnya.
![Gubernur Jawa Barat Dedi Mulyadi bersama dengan Menteri HAM Natalius Pigai saat konferensi pers di Kantor Kementerian HAM, Jakarta, Kamis (8/5/2025). [Suara.com/Alfian Winanto]](https://media.suara.com/pictures/653x366/2025/05/08/33203-pertemuan-gubernur-jabar-dan-menteri-ham-dedi-mulyadi-natalius-pigai.jpg)
Berbeda dengan Pigai, Pemerhati anak Seto Mulyadi memotret fenomena di media sosial yang menunjukan anak-anak takut dijemput Gubernur Jawa Barat Dedi Mulyadi jika tidak patuh dengan orang tua.
Menurutnya, fenomena itu seharusnya tidak boleh terjadi.
"Menurut saya tidak benar. Karena bagaimana juga kan mendidik itu bukan membidik, mengajar bukan menghajar. Jadi tidak dengan cara kekerasan, tidak dengan ancaman. Dan pendidikan itu maknanya menumbuhkan potensi anak. Menumbuhkan potensi anak yang saling berbeda," kata Kak Seto kepada Suara.com saat dihubungi pada Jumat 9 Mei 2025.
Ia juga menekankan bahwa pendekatan kekerasan atau menakut-nakuti anak justru bisa berdampak buruk pada tumbuh kembang psikologis anak.
Alih-alih menjadi disiplin, anak justru berpotensi mengalami trauma dan menarik diri dari lingkungan sosial.
"Jangan sampai pendidikan itu ada unsur paksaan, ancaman, seolah anak hanya robot saja. Anak adalah subyek yang mempunyai potensi yang akan berkembang," ujarnya.
Kak Seto juga mengingatkan pentingnya peran orang tua sebagai pendidik utama dalam keluarga. Pendidikan yang paling berpengaruh justru terjadi di rumah, bukan hanya di sekolah.
"Tidak dengan cara kekerasan. Dengan cara kekerasan anak justru akan lari antara fight atau flight," katanya.