suara hijau

Transisi Energi Indonesia Butuh Arah Jelas: Mengapa Pembangkit Gas Fosil Tak Bisa Jadi Solusi?

Bimo Aria Fundrika Suara.Com
Kamis, 15 Mei 2025 | 08:39 WIB
Transisi Energi Indonesia Butuh Arah Jelas: Mengapa Pembangkit Gas Fosil Tak Bisa Jadi Solusi?
Ilustrasi energi terbarukan (Pixabay/Seagul)

Suara.com - Transisi energi Indonesia memasuki babak penting. Sayangnya, arah kebijakan belum sepenuhnya mendukung energi bersih yang adil. Sejumlah teknologi yang kontroversial ikut dimasukkan dalam rencana transisi energi Indonesia. Misalnya, teknologi CCS dan CCUS yang menangkap dan menyimpan (atau memanfaatkan) emisi CO2, bioenergi dari kelapa sawit, serta perluasan penggunaan gas fosil dan energi nuklir.

Kehadiran teknologi-teknologi ini justru menimbulkan kekhawatiran baru karena belum tentu mendukung energi bersih yang adil. Menanggapi kondisi tersebut, Greenpeace Indonesia bersama Center of Economic and Law Studies (CELIOS) meluncurkan laporan terbaru.

Fokusnya mereka membongkar risiko penggunaan gas fosil sebagai energi transisi, sekaligus menawarkan solusi yang lebih adil secara sosial dan berdampak secara ekonomi.

Laporan ini menegaskan transisi energi seharusnya bukan hanya soal penurunan emisi, tapi juga soal keadilan dan keberlanjutan. Salah satu temuan utama menyebutkan, perluasan pembangkit gas justru berisiko tinggi, baik bagi lingkungan maupun ekonomi.

Jika skenario pembangunan 22 GW pembangkit gas dijalankan, biaya kesehatan masyarakat dalam 15 tahun ke depan bisa membengkak hingga Rp89,8–Rp249,8 triliun. Emisi CO bisa melonjak 49 juta ton per tahun. Ditambah lagi, emisi metana mencapai 43 ribu ton. Demikian menurut Kepala Greenpeace Indonesia,  Leonard Simanjuntak, dalam keterangannya. 

Ilustrasi energi terbarukan. (Pixabay)
Ilustrasi energi terbarukan. (Pixabay)

Dari sisi ekonomi, dampaknya juga besar. Direktur Eksekutif CELIOS, Bhima Yudhistira menjelaskan, kalau Indonesia terus mengandalkan pembangkit gas fosil, total kerugian ekonomi bisa mencapai Rp941,4 triliun hingga tahun 2040. Sementara pembangkit gas siklus gabungan bisa menyebabkan kerugian Rp280,9 triliun. 

Tak hanya itu, pembangkit gas juga berisiko mengurangi lapangan kerja. Diperkirakan ada potensi kehilangan hingga 6,7 juta pekerjaan, terutama di sektor rentan seperti kelautan dan perikanan.

“Beban kesehatan dari pembangkit gas berkapasitas 22 GW juga sangat besar, bisa mencapai Rp89,8 hingga Rp249,8 triliun dalam 15 tahun ke depan,” tambah Bhima.

Sebaliknya, jika Indonesia beralih ke energi terbarukan, dampaknya jauh lebih positif. CELIOS menghitung, transisi ini bisa menyumbang Rp2.627 triliun ke perekonomian nasional pada 2040. Selain itu, jika pembangkit energi terbarukan skala komunitas dikembangkan secara masif, bisa tercipta hingga 20 juta lapangan kerja.

Baca Juga: 7 Rekomendasi Tinted Sunscreen Lokal Terbaik: Proteksi Maksimal Formulasi SPF Khusus

Pidato Presiden Prabowo di KTT G20 Brasil yang menegaskan komitmen Indonesia menuju nol emisi pada 2050 bisa jadi momentum penting. Tapi, komitmen butuh bukti. Langkah konkret sangat dibutuhkan agar visi sejalan dengan implementasi.

Komitmen pemerintah untuk melakukan transisi energi terlihat bertentangan dengan kebijakan yang dijalankan. Di satu sisi, pemerintah mengaku ingin beralih ke energi bersih. Tapi di sisi lain, mereka justru berencana menjadikan gas fosil sebagai “energi transisi” dan membangun banyak pembangkit listrik berbasis gas baru.

Rencana ini tercantum dalam program Accelerated Renewable Energy Development (ARED) yang akan masuk ke RUPTL terbaru. Selain itu, pemerintah juga lebih memprioritaskan pendanaan dari Danantara untuk proyek minyak dan gas, bukan untuk energi terbarukan.

Laporan ini menekankan bahwa solusi-solusi yang ditawarkan pada kebijakan energi pemerintah seharusnya bukan solusi palsu yang hanya akan memperpanjang ketergantungan Indonesia terhadap penggunaan energi fosil.

Beberapa rekomendasi yang dihasilkan dari laporan ini, diantaranya adalah pemerintah harus membatalkan rencana penambahan pembangkit gas fosil baru dari dalam RUPTL 2025-2034 yang akan datang, membuat Peta Jalan Pemensiunan Pembangkit Listrik dari gas fosil dan bahan bakar fosil lainnya, serta mempercepat transformasi ekonomi melalui fokus pada energi terbarukan, khususnya energi surya dan angin, bukan pembangkit gas fosil.

Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI