Suara.com - Podium upacara HUT Kemerdekaan RI di Alun-alun Rangkasbitung mendadak menjadi panggung kemarahan. Bupati Lebak, Hasbi Jayabaya, mengubah pidato seremonialnya menjadi sebuah ultimatum keras yang ditujukan langsung kepada 339 kepala desa di wilayahnya.
Di hadapan para pejabat dan peserta upacara, Hasbi secara terbuka menelanjangi ironi yang menyakitkan ribuan kilometer jalan desa masih hancur lebur, sementara banyak kepala desanya justru pamer mobil mewah sekelas Pajero dan Fortuner.
Suasana khidmat upacara pada Minggu (17/8/2025) berubah tegang ketika Hasbi mulai menyoroti masalah infrastruktur. Setelah menyebut bahwa pembangunan telah dimulai, ia langsung melontarkan pertanyaan tajam yang menggema di seluruh alun-alun, mempertanyakan akuntabilitas penggunaan dana desa.
“Pembangunan jalan desa sudah dimulai, saya ingatkan bagi kepala desa yang hadir, ‘ke mana saja dana desa?” hardik Hasbi dari atas podium, dilansir dari unggahan akun instagram @inforangkasbitung.
Pertanyaan itu bukan sekadar basa-basi, melainkan interogasi publik yang membuka borok pengelolaan anggaran di tingkat desa.
Ia menyoroti data konkret masih ada sekitar 1.617 kilometer jalan desa di Lebak yang dalam kondisi rusak parah.
Puncak dari pidato Hasbi adalah ketika ia tanpa ragu menggambarkan kontras gaya hidup para kepala desa dengan kondisi nyata di lapangan.
Sindiran ini begitu tajam karena menggunakan simbol kemewahan yang sangat dikenal publik.
“Jalan desa rusak, kepala desa mobilnya Fortuner dan Pajero,” tegas Hasbi, sebuah kalimat yang langsung memicu riuh di antara hadirin dan menjadi sorotan utama.
Baca Juga: Protes Sampah Impor, Mapala Banten Kibarkan Merah Putih Raksasa di TPA Bangkonol
Pernyataan ini seolah menjadi validasi atas keresahan warga selama ini. Bagaimana mungkin seorang pemimpin di tingkat desa mampu membeli kendaraan seharga ratusan juta rupiah, sementara infrastruktur dasar di wilayah yang dipimpinnya terabaikan?
Hasbi Jayabaya tidak berhenti pada sindiran. Ia menutup bagian pidatonya dengan sebuah ancaman yang tidak main-main, menunjukkan bahwa ia siap mengambil langkah drastis jika peringatannya diabaikan.
Menggunakan bahasa Sunda yang lugas dan terkesan lebih personal, ia memberikan ultimatum kepada seluruh kepala desa.
“Jangan macam-macam ke saya, (jika) melawan, 339 kepala desa saya periksa, saya audit,” ancamnya dengan nada tinggi.