Baik dari segi pelatihan maupun kecukupan informasi taktis di lapangan.
“Kita berharap TNI tetap profesional. Apalagi di wilayah seperti Papua, seharusnya perhatian lebih diberikan. Bukan hanya mengganti personel yang berjaga di pos, tetapi memastikan mereka dibekali latihan dan kemampuan memadai. Bagaimana mungkin kita bisa harapkan keunggulan tempur, kalau sebagian prajurit justru ditugaskan berjaga di kantor kejaksaan?” ujar Frederik.
Data menunjukkan bahwa sepanjang 2024, sebanyak 37 personel TNI-Polri menjadi korban saat menangani kelompok kriminal bersenjata (KKB).
Baik penembakan maupun penganiayaan hingga menyebabkan korban meninggal dan terluka.
Dari jumlah tersebut, 16 anggota TNI gugur dan terluka, sisanya 11 orang anggota Polri, delapan orang di antaranya gugur.
Untuk masyarakat, tercatat 29 orang meninggal dan 27 orang lainnya luka-luka.
Lebih lanjut, Frederik menilai bahwa penempatan TNI di ranah sipil berisiko menciptakan kegelisahan sosial.
Ia mencermati munculnya keresahan masyarakat terhadap kehadiran militer di ruang-ruang publik non-pertahanan.
Yang bisa menimbulkan suasana psikologis penuh ketakutan, dan bahkan berdampak pada iklim ekonomi.
Baca Juga: BPOM Dukung TNI Produksi Obat: Kita Awasi Prosesnya
“Situasi sosial bisa ikut terpengaruh. Masyarakat bertanya-tanya, ada apa sebenarnya? Kenapa TNI masuk ke kejaksaan? Ini bisa menciptakan ketegangan yang mengganggu kestabilan, termasuk di sektor perdagangan yang kini sudah mulai lesu,” jelasnya.