Komite PBB Kritik Keras Indonesia Soal Hak Anak: Dispensasi Nikah dan Program Makan Gratis Disorot

Jum'at, 16 Mei 2025 | 09:46 WIB
Komite PBB Kritik Keras Indonesia Soal Hak Anak: Dispensasi Nikah dan Program Makan Gratis Disorot
Ilustrasi anak SD saat menyantap makan bergizi gratis. (ist)

Suara.com - Berbagai isu krusial tentang anak di Indonesia ikut jadi sorotan oleh Komite Hak Anak Perserikatan Bangsa-Bangsa (CRC) saat acara sidang di Jenewa, Swiss, pada Rabu (14/5) waktu setempat.

Delegasi Republik Indonesia (DELRI) dicecar berbagai pertanyaan oleh seluruh anggota Komite tentang konsep Indonesia Emas.

Isu itu juga mencakup soal kejadiaan keracunan makanan dalam program Makan Bergizi Gratis (MBG), dispensasi untuk perkawinan anak, wajib jilbab di sekolah, hingga Peraturan Daerah (Perda) penyimpangan seksual di Bogor.

Namun, jawaban dari DELRI atas berbagai isu tersebut nampak belum mampu meyakinkan komite CRC.

“Saya tidak begitu yakin bagaimana Indonesia menangani masalah-masalah seperti ini,” kata Anggota Komite CRC dari Togo, Suzanne Aho.

Salah satu isu yang disorot tajam juga mengenai perkawinan anak. Komite CRC mengkritik masih ada celah melalui mekanisme dispensasi usia menikah pada anak, meskipun Indonesia sudah punya aturan usia minimal pernikahan dinaikkan menjadi 19 tahun.

Direktur Jenderal Pelayanan dan Kepatuhan HAM Kementerian Hak Asasi Manusia, Munafrizal Manan, beri penjelasan mengenai hal tersebut.

Dia menyebutkan bahwa dispensasi hanya untuk usia 17–18, akan tetapi dia tidak menyebut jumlah dispensasi yang dikabulkan serta alasannya.

Direktur Eksekutif Human Rights Working Group (HRWG), Daniel Awigra, menanggapi setiap jawaban dari DELRI dengan menyarankan kalau para delegasi Indonesia sebaiknya meminta pendapat para anggota komite yang memang ahli di bidang hak anak untuk menemukan akar masalah serta solusi bisa diperbaiki.

Baca Juga: Siti Badriah Melahirkan Anak Kedua, Tanggal Lahirnya Bikin Salfok

"Cara bersidang seperti ini terkesan DELRI hanya bertahan dan berdalih, belum bisa memaksimalkan momentum ini sebagai titik balik untuk memperbaiki setiap kebijakan dan program yang menyangkut anak-anak dengan menggunakan perspektif dan pendekatan hak asasi manusia,” kata Daniel di Jakarta.

Persoalan lain yang ditanyakan juga mengenai sterilisasi paksa anak disabilitas.

Pemerintah lebih memilih bicara soal "komitmen inklusi", tanpa menyangkal atau mengonfirmasi informasi yang beredar. Sementara ketika Komite bertanya soal kondisi 400 anak WNI di kamp pengungsi Suriah, pemerintah menjawab bahwa proses repatriasi masih dalam kajian.

Begitu pula dengan kesenjangan layanan publik di kawasan timur Indonesia. Meski menyebut adanya konsultasi online (telemedicine) dan pengiriman dokter, pemerintah gagal menjelaskan mengapa anak-anak di Papua, NTT, dan daerah 3T lainnya tetap tertinggal jauh dalam akses pendidikan, gizi, dan kesehatan.

Sidang akan dilanjutkan pada hari kedua uang baru akan digelar pada 15 September 2025.

Update Keracunan MBG

Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI