“Sementara itu di suatu tempat di negeri ini, seseorang berdiri dengan gagahnya seraya berkata... 'kita ini bangsa yg besar'. Lalu, apanya yang besar? Kemiskinannya kah? Tingkat korupsinya kah?,” tulis @kri****.
Tak ketinggalan, komentar reflektif datang dari akun @roh****, “Berita tentang Manusia Silver dari media Korea ini lebih dari sekadar sorotan. Ini cermin. Tentang betapa kerasnya hidup di negeri sendiri sampai manusia harus jadi patung demi sesuap nasi. Di balik cat silver itu, ada krisis. Ada pengangguran. Ada sistem yang gagal memberi jaminan hidup layak.”
Tak sedikit pula yang menyoroti standar penghitungan kemiskinan di Indonesia. “150rb per hari, klo pake standar @bps_statistics gak termasuk miskin. Kelas menengah mereka tuh,” cibir @clim****.
Sementara akun @ruj**** menyerukan tagar penuh kritik, “Keknya harus naikin tagar #PemerintahGagal di setiap postingan soal kemiskinan dan ketidaksejahteraan rakyat. Dah berapa tahun kita malah makin jatuh begini kondisinya?”
Lebih dari Cat Perak
Fenomena Manusia Silver sebetulnya sudah ada sejak beberapa tahun terakhir, namun kini menjadi simbol yang lebih besar. Mereka adalah potret dari masalah struktural yang tidak diselesaikan. Mereka bukan pemalas. Mereka adalah pekerja keras yang terjebak dalam sistem yang tak menyediakan ruang bagi mereka untuk tumbuh.
Statistik dari BPS menyebutkan bahwa 450 ribu orang dari 11 juta penduduk Indonesia hidup di bawah garis kemiskinan. Tapi seperti sindiran dari para netizen, angka-angka itu hanya secuil dari kenyataan. Realitas jauh lebih keras daripada statistik.
Karena di balik tubuh yang dilapisi cat metalik itu, ada kisah kehilangan pekerjaan, ada perut yang lapar, ada anak yang harus diberi makan, dan ada masa depan yang terasa makin buram.
Berita KBS seakan menjadi pukulan telak. Ketika dunia melihat kita, apakah yang mereka lihat adalah kemegahan pembangunan, atau justru sosok-sosok manusia yang terpaksa menjadi patung demi bertahan hidup?
Baca Juga: Bank Dunia Bilang Kita 60% Miskin, BPS Cuma 8%: Siapa yang Salah Hitung?
Kini, pertanyaannya bukan lagi soal apakah kita bangsa yang besar. Melainkan: besar untuk siapa? Dan apakah yang kecil harus terus berkilau demi dilihat?