Dari kelima perusahaan tersebut, PT GAG Nikel merupakan satu-satunya yang saat ini aktif memproduksi nikel dan berstatus Kontrak Karya (KK).
Perusahaan ini terdaftar di aplikasi Mineral One Data Indonesia (MODI) dengan Nomor Akte Perizinan 430.K/30/DJB/2017, serta memiliki wilayah izin seluas 13.136,00 hektar.
Selain itu, PT GAG Nikel termasuk ke dalam 13 Perusahaan yang diperbolehkan untuk melanjutkan kontrak karya pertambangan di Kawasan Hutan hingga berakhirnya izin/perjanjian berdasarkan Keputusan Presiden 41/2004 tetang Perizinan atau Perjanjian di Bidang Pertambangan yang Berada di Kawasan Hutan.
Untuk diketahui, Pada 5 Juni 2025 lalu, Menteri ESDM menghentikan sementara kegiatan operasi PT GAG Nikel di Pulau Gag, Kabupaten Raja Ampat.
Menurut Bahlil, pencabutan izin operasional sementara ini, untuk dilakukan verifikasi yang akan dilakukan oleh Tim Kementerian ESDM.
"Saya ingin ada objektif. Nah, untuk menuju ke sana agar tidak terjadi kesimpangsiuran maka kami sudah memutuskan lewat Dirjen minerba untuk status daripada IUP PT GAG, kami untuk sementara kita hentikan operasinya sampai dengan verifikasi lapangan," ujarnya dalam konferensi pers di Kantor Kementerian ESDM, Kamis 5 Juni 2025.
Bahlil menuturkan bahwa hanya PT GAG Nikel yang masih beroperasi, karena IUP dimulai pada tahun 2017.

Kegaduhan tambang nikel di Raja Ampat disinyalir Bahlil Lahadalia merupakan kampanye gelap pihak asing.
Menurutnya, kampanye ini timbul setelah pemerintah mulai menggalakkan program hilirisasi di banyak sektor, termasuk tambang nikel.
Baca Juga: Terungkap! Ini Daftar 5 Perusahaan Pemegang Izin Tambang di Raja Ampat
"Saya katakan bahwa ada pihak-pihak asing yang tidak senang atau kurang berkenan dengan proyek hilirisasi ini," ujarnya dalam konferensi pers di Jakarta.
Pernyataan Bahlil mengenai adanya pihak asing yang tidak senang dengan proyek hilirisasi, seolah menegaskan kembali pernyataan Presiden Prabowo Subianto saat peringatan Hari Pancasila pada Senin 2 Juni 2025 silam.
Prabowo menyebut adanya pihak asing memang berkeinginan mengadu domba rakyat. Ia lantas menyingging ihwal ada LSM yang dibiayai pihak asing.
"Ini selalu yang diharapkan oleh kekuatan-kekuatan asing yang tidak suka Indonesia kuat, tidak suka Indonesia kaya. Ratusan tahun mereka adu domba kita sampai sekarang, dengan uang mereka membiayai LSM-LSM untuk mengadu domba kita, mereka katanya penegak demokrasi HAM kebebasan pers," ujarnya.
Namun, Peneliti senior DeJuRe, Bhatara Ibnu Reza menyebutkan bahwa hampir semua dokumen atau instrumen internasional mengakui pentingnya lembaga swadaya masyarakat dalam pembangunan demokrasi, kebebasan sipil, dan hak asasi manusia.
"Rezim yang menolak LSM adalah rezim yang menolak pemerintahannya di awasi oleh masyarakat, sehingga rezim itu potensial menyalahgunakan kekuasaannya. Dengan demikian, hal itu menjadi sinyal kuat sebagai bentuk rezim yang mengarah otoriter dan antikritik," ujarnya.