Kejagung Akui Ada Pasal-Pasal KUHP Baru yang Bisa Jerat Jurnalis

Senin, 30 Juni 2025 | 17:12 WIB
Kejagung Akui Ada Pasal-Pasal KUHP Baru yang Bisa Jerat Jurnalis
Kepala Pusat Penerangan Hukum (Kapuspenkum) Kejaksaan Agung, Harli Siregar, dalam sebuah diskusi di Jakarta Selatan, Senin (23/6/2025), memaparkan pasal-pasal karet yang bisa menjerat jurnalis. [Suara.com]

Suara.com - Kitab Undang-Undang Hukum Pidana alias KUHP yang akan berlaku penuh pada Januari 2026, membawa angin segar pembaruan hukum, sekaligus awan kelabu bagi kebebasan pers di Indonesia.

Kejaksaan Agung secara terbuka mengakui adanya sejumlah pasal dalam KUHP baru yang berpotensi menjerat aktivitas jurnalistik.

Alhasil, keberadaan pasal-pasal tersebut memicu kekhawatiran mendalam di kalangan insan pers yang takut akan ancaman kriminalisasi.

Kepala Pusat Penerangan Hukum (Kapuspenkum) Kejaksaan Agung, Harli Siregar, dalam sebuah diskusi di Jakarta Selatan, Senin (23/6/2025), memaparkan pasal-pasal yang perlu menjadi perhatian serius para jurnalis.

Menurutnya, pasal-pasal ini, jika tidak diterapkan dengan hati-hati, bisa menjadi pedang bermata dua bagi kerja pers.

“Ada beberapa pasal yang berpotensi relevan dan dapat diterapkan pada aktivitas jurnalistik, di antaranya berkait dengan pencemaran nama baik dan fitnah. KUHP baru masih mengatur delik pencemaran nama baik,” ungkap Harli.

Secara spesifik, Harli merujuk pada Pasal 310 tentang pencemaran nama baik dan Pasal 311 yang mengatur tentang fitnah.

Tak hanya itu, ancaman juga datang dari Pasal 263 dan 264, yang mengatur tentang penyebaran berita bohong yang dapat menimbulkan keonaran di masyarakat.

“Pasal dalam KUHP baru mengatur tentang penyebaran berita bohong yang dapat menimbulkan keonaran di masyarakat," ujarnya.

Baca Juga: Wakil Ketua DPD RI: Dasco Adalah Kunci Redam Fragmentasi Elite dan Ubah Paradigma DPR

Bahkan, isu ekonomi pun tak luput dari potensi jerat pidana.

Pasal 265 KUHP baru mencantumkan ketentuan mengenai pemberitahuan bohong terkait harga barang, yang menurut Harli bertujuan melindungi stabilitas ekonomi.

"Terkait dengan penyebaran berita atau pemberitahuan bohong tentang harga barang. Jadi bukan hanya tentang manusia, tentang harga barang pun dibahas di sana,” katanya.

Meski demikian, Harli menegaskan bahwa penerapan pasal-pasal tersebut harus tetap mengacu pada kaidah-kaidah jurnalistik serta prinsip praduga tak bersalah.

Ia berharap jurnalis dapat menjalankan fungsinya secara akurat dan bertanggung jawab.

Gelombang Protes dari Komunitas Pers

Peringatan dari Kejaksaan Agung ini seakan mengkonfirmasi ketakutan yang telah lama disuarakan oleh Dewan Pers dan berbagai organisasi jurnalis.

Sejak pengesahan KUHP baru, komunitas pers konsisten menolak pasal-pasal yang dianggap "karet" dan dapat membungkam kritik.

Dewan Pers, Aliansi Jurnalis Independen (AJI), Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Pers, dan Ikatan Jurnalis Televisi Indonesia (IJTI) secara kolektif menilai belasan pasal dalam KUHP baru tidak hanya mencederai Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers, tetapi juga membahayakan demokrasi.

Pasal-pasal yang paling disorot antara lain:

  • Pasal 218, 219, & 220: Mengatur tindak pidana penyerangan kehormatan atau harkat dan martabat Presiden dan Wakil Presiden.
  • Pasal 240 & 241: Mengatur tindak pidana penghinaan terhadap Pemerintah.
  • Pasal 263 & 264: Terkait penyebaran berita bohong atau tidak pasti yang dapat menyebabkan keonaran.

Menurut organisasi pers, pasal-pasal ini bersifat subjektif dan definisinya yang tidak jelas membuka ruang bagi penyalahgunaan wewenang untuk mengkriminalisasi jurnalis yang kritis terhadap pemerintah atau aparat.

Mereka berpendapat bahwa sengketa yang berkaitan dengan karya jurnalistik seharusnya diselesaikan melalui mekanisme di Dewan Pers sesuai UU Pers, bukan melalui pengadilan pidana.

Dewan Pers bahkan telah mengajukan daftar inventaris masalah (DIM) dan usulan reformulasi pasal-pasal tersebut kepada DPR dan pemerintah, namun merasa masukan mereka diabaikan.

Kekecewaan ini memuncak karena proses legislasi dinilai minim partisipasi publik yang bermakna.

Perkembangan Pembahasan RUU KUHAP di DPR

Di tengah kekhawatiran ini, proses legislasi terkait hukum acara pidana terus berjalan.

Wakil Ketua DPR RI, Sufmi Dasco Ahmad, mengonfirmasi bahwa pihaknya telah menerima Daftar Inventarisasi Masalah (DIM) Rancangan Undang-Undang Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (RUU KUHAP) dari pemerintah.

"DIM-nya sudah kita terima," kata Dasco di Kompleks Parlemen, Senayan, Kamis (26/6/2025) lalu.

Pembahasan RUU KUHAP ini akan segera dilakukan oleh Komisi III DPR. Dasco berjanji bahwa prosesnya akan berjalan transparan dan dapat diakses oleh publik.

"Ya komisi tiga. Rencananya begitu. Nanti kan kita akan umumkan di rapat paripurna terdekat," jelas Dasco.

Pemerintah dan DPR meyakinkan bahwa mereka telah menampung aspirasi dari berbagai kalangan, termasuk masyarakat sipil, dalam penyusunan DIM RUU KUHAP.

Namun, komunitas pers tetap waspada, menanti apakah pembahasan KUHAP akan memberikan perlindungan yang lebih kuat bagi kerja jurnalistik, atau justru semakin mempertegas ancaman pidana yang sudah terkandung dalam KUHP baru.

Pertaruhan kini terletak pada bagaimana DPR dan pemerintah menyeimbangkan antara penegakan hukum dan perlindungan terhadap kebebasan pers sebagai pilar utama demokrasi.

Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI