Pemilu Nasional dan Daerah Dipisah, Bawaslu Kewalahan Siapkan Pengawasan?

Rabu, 02 Juli 2025 | 15:11 WIB
Pemilu Nasional dan Daerah Dipisah, Bawaslu Kewalahan Siapkan Pengawasan?
Ilustrasi Kantor Bawaslu. Lembaga tersebut mengungkapkan sejumlah tantangan terkait putusan final MK yang memisahkan gelaran pemilu nasional dan daerah. [Shutterstock]

Suara.com - Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) mengungkapkan tantangan yang akan dihadapi pengawas pemilu pada implementasi putusan Mahkamah Konstitusi (MK) nomor 135/PUU-XXII/2024 yang memisahkan jadwal pemilu nasional dan daerah.

Anggota Bawaslu RI Puadi menjelaskan bahwa pemisahan jadwal pemilu nasional dan daerah akan berdampak pada pembengkakan tahapan dan kebutuhan logistik pengawasan.

"Misalnya, Bawaslu harus menyiapkan perangkat pengawasan dua kali, mulai dari rekrutmen jajaran adhoc, pelatihan, pengawasan logistik, hingga penanganan pelanggaran," kata Puadi kepada Suara.com, Rabu (2/7/2025).

Dengan begitu, Puadi menyebut perlunya sejumlah penyesuaian dari kelembagaan hingga penguatan kapasitas jajaran di lapangan yang harus dilakukan Bawaslu dalam memenuhi tugas dan fungsinya.

"Dibutuhkan penyesuaian perencanaan kelembagaan, termasuk koordinasi lintas lembaga, perencanaan anggaran, dan penguatan kapasitas jajaran di lapangan," ujar Puadi.

Meski begitu, Puadi menyebut bahwa putusan MK yang memisahkan pemilu nasional dan daerah ini menjadi tantang baru bagi Bawaslu untuk memastikan suksesnya pemilu mendatang.

"Bagi Bawaslu, putusan ini juga menjadi tantangan baru untuk memastikan bahwa pemilu nasional dan daerah yang dilaksanakan secara terpisah tetap memiliki standar integritas, transparansi, dan akuntabilitas yang setara," katanya.

Hasil Kajian Sementara DPR

Sebelumnya, Ketua Komisi II DPR RI Rifqinizamy Karsayuda membocorkan hasil kajian sementara DPR dalam menyikapi putusan Mahkamah Konstitusi (MK) terkait pemisahan pemilu nasional dengan daerah.

Baca Juga: Putusan MK Pisahkan Jadwal Pemilu Nasional dan Daerah, Bawaslu Yakin Pengawasan Lebih Berkualitas

Kajian itu dibahas dalam rapat konsultasi di Komplek Parlemen, Senayan, Jakarta, Senin, 30 Juni kemarin, yang dihadiri pimpinan DPR, Komisi II DPR, Komisi III DPR, dan Badan Legislasi (Baleg) DPR.

Kemudian ada dari perwakilan pemerintah hadir Menteri Hukum (Menkum), Menteri Sekretaris Negara (Mensesneg), Menteri Dalam Negeri (Mendagri), serta unsur penyelenggara pemilu.

Menurutnya, dari kajian sementara ada beberapa persoalan yuridis dari putusan MK.

“Dari kajian sementara kami, paling tidak, ada beberapa persoalan yuridis yang sangat serius," kata Rifqi di Komplek Parlemen, Senayan, Jakarta, Senin (30/6/2025).

Pertama, putusan MK soal pemisahan pemilu sudah mendahului pembentuk Undang-Undang Dasar.

Anggota Bawaslu RI, Puadi di sidang PHPU Pilpres 2024 di Mahkamah Konstitusi (MK), Kamis (28/3/2024). [Bidik layar/Rakha]
Anggota Bawaslu RI, Puadi mengungkapkan persoalan dan tantangan yang akan dihadapi lembaganya saat digelarnya pemilu yang dipisah, antara pemilu nasional dan lokal. [Bidik layar/Rakha]

"Di mana pembentuk Undang-Undang Dasar menyebutkan bahwa gubernur, bupati, wali kota, masing-masing sebagai kepala pemerintahan provinsi, kabupaten, kota dipilih secara demokratis."

"Demokratis itu maknanya bisa langsung bisa tidak langsung, tapi kemudian MK dalam tanda kutip menyimpulkan bahwa harus dilakukan pemilu yang itu artinya dipilih secara langsung," sambung Rifqi.

Kemudian persoalan kedua, MK sebelumnya sudah memberikan keputusan pada 2019 terkait enam varian keserentakan pelaksanaan pemilu.

"Yang oleh MK sendiri disebutkan Pembentuk Undang-Undang diberikan hak untuk melakukan open legal policy. Artinya, kami diminta untuk memilih satu di antara enam. Nah sekarang kami sedang mau revisi, kan pemilunya juga masih lama, 2029 kok tiba-tiba MK menetapkan sendiri salah satu daripada itu," ujar Rifqi.

Lebih lanjut, kata dia, posisi MK kekinian telah melampaui kewenangan. Tidak hanya menentukan UU konstitusional atau inkonstitusional, tapi juga telah membuat norma sendiri.

"Nah kalau kemudian ini terus terjadi, maka kita tidak akan menghasilkan satu demokrasi konstitusional dan negara hukum yang baik. Nanti kami revisi Undang-Undang Pemilu, belum dilaksanakan di judicial review diterbitkan norma baru. Kemudian kita hadirkan lagi," katanya.

"Nah kalau seperti ini terus, menurut pandangan saya kita tidak bisa saling menghargai antar lembaga negara. Karena itu, izinkan sekali lagi DPR dan Pemerintah melakukan pencermatan yang sangat serius terhadap putusan MK terbaru ini," sambungnya.

Kendati begitu, lanjut dia, putusan MK itu mengikat dan harus dilaksanakan. DPR masih akan terus melakukan kajiannya.

"Jadi kami pastikan apapun yang akan dilakukan oleh DPR pasti akan mengacu pada konstitusionalitas konstitusi," pungkasnya.

Putusan MK

Diketahui, putusan perkara nomor 135/PUU-XXII/2024 dibacakan langsung Ketua MK Suhartoyo dalam sidang pleno di Gedung MK, Jakarta, pada Kamis, 26 Juni 2025.

Dalam putusan tersebut, MK resmi memutuskan bahwa penyelenggaraan pemilihan umum (pemilu) nasional dan daerah kini harus dilakukan secara terpisah dengan jeda waktu minimal dua tahun dan maksimal dua tahun enam bulan.

Putusan ini merupakan respons atas permohonan Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) yang diajukan oleh Ketua Pengurus Yayasan Perludem Khoirunnisa Nur Agustyati dan Bendahara Irmalidarti.

MK menyatakan bahwa sejumlah pasal dalam Undang-Undang Pemilu dan Pilkada bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 jika tidak dimaknai secara berbeda ke depan.

Selama ini, pelaksanaan pemilu nasional dan daerah kerap dilakukan serentak dalam satu tahun yang sama. Namun, berdasarkan pertimbangan MK, praktik ini menyulitkan proses demokrasi dan menghambat efektivitas pemerintahan.

Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI