Suara.com - Duka mendalam masih menyelimuti keluarga Juliana Marins, seorang profesional muda asal Brasil yang meninggal dunia secara tragis setelah terjatuh ke jurang saat mendaki Gunung Rinjani di Indonesia.
Kematian Juliana, yang baru berusia 26 tahun, bukan hanya meninggalkan luka emosional bagi orang-orang terdekatnya, tetapi juga memunculkan polemik internasional terkait dugaan kelalaian pihak pemandu wisata dan lambannya respon otoritas Indonesia.
Dalam wawancara eksklusif bersama program televisi Fantástico yang tayang di Brasil pada Minggu (29/6), Manoel Marins, ayah Juliana, secara terbuka menuding kelalaian pemandu sebagai penyebab utama tragedi ini.
Menurut kesaksiannya, Juliana sudah mengeluh lelah dan diminta untuk duduk di pinggir jalur tebing oleh pemandu. Namun yang mengejutkan, pemandu tersebut mengaku pergi selama 5 hingga 10 menit untuk merokok, meninggalkan Juliana seorang diri dalam kegelapan dini hari di jalur berbahaya.
“Ini benar-benar keterlaluan. Mereka membiarkan anak saya mati perlahan di dasar jurang tanpa bantuan. Pemandu itu pergi merokok dan meninggalkannya," tegas Manoel Marins.
![Juliana Marins. [Instagram]](https://media.suara.com/pictures/original/2025/06/26/54189-juliana-marins.jpg)
“Ketika dia kembali, Juliana sudah tidak ada di tempatnya,” kata Manoel dengan suara bergetar. “Dan dia baru benar-benar mencari lagi sekitar pukul enam pagi, dua jam setelahnya. Bahkan saat itu, dia hanya merekam video dan mengirimkannya ke bosnya, bukan langsung meminta pertolongan.”
Lebih lanjut, keluarga Marins mengecam reaksi lambat dari otoritas taman nasional dan tim penyelamat Indonesia. Diketahui, tim pertama baru dipanggil sekitar pukul 08.30 pagi, dan baru tiba di lokasi kecelakaan pada pukul 14.00.
"Perusahaan tur menjual paket jalur ‘mudah’ padahal penuh risiko. Tapi pelaku terbesar adalah koordinator taman. Dia lamban, pasif, dan tidak bertindak cepat. Itu kelalaian sistemik,” ucap dia.
Bahkan, Basarnas (Badan Nasional Pencarian dan Pertolongan Indonesia) baru tiba di lokasi sekitar pukul 7 malam.
Baca Juga: Pengakuan Agam Rinjani Saat Menemukan Juliana Marins: Kepala Retak, Sudah Mati di Tempat
“Tim pertama datang tanpa peralatan lengkap. Mereka hanya membawa tali dan mencoba menolong dengan cara amatiran. Pemandu bahkan mengikat tali di pinggangnya dan mencoba turun ke jurang tanpa sistem berlabuh. Itu bukan penyelamatan, itu kegilaan,” kata Manoel.
Jenazah Juliana akhirnya ditemukan dua hari setelah kejadian, pada Rabu pagi (25/6). Hasil autopsi di Indonesia menunjukkan bahwa Juliana meninggal sekitar 20 menit setelah terjatuh.
Laporan awal juga menyebutkan ia mengalami luka dalam akibat cedera dada, yang menyebabkan pendarahan internal hebat. Namun pihak keluarga tidak menerima begitu saja kesimpulan tersebut.
Pada Selasa (1/7), jenazah Juliana tiba kembali di Brasil. Otoritas setempat kemudian melakukan autopsi ulang, atas permintaan keluarga, yang telah disetujui oleh Pengadilan Federal Brasil.
Kasus ini kini menjadi sorotan media Brasil, termasuk O Globo dan Folha de S. Paulo, serta memicu kecaman terhadap standar keselamatan wisata di destinasi populer seperti Rinjani.
Keluarga Juliana menolak menutup kasus ini sebelum ada kejelasan, keadilan, dan pertanggungjawaban dari pihak-pihak yang terlibat.