Suara.com - Menteri Perumahan dan Kawasan Pemukiman, Maruarar Sirait, memberikan pernyataan mengejutkan dengan mengumumkan ide rumah subsidi yang diperkecil batal dilaksanakan.
Hal itu disampaikan Maruarar dalam Rapat Kerja Komisi V DPR RI di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Kamis (10/7/2025).
"Saya sudah mendengar negitu banyak masukan termasuk dari teman-teman anggota DPR Komisi V maka saya terbuka menyampaikan permohonan maaf dan saya cabut itu ide itu," kata Maruarar dalam rapat.
Ia mengakui memang ide itu ternyata masih kurang tepat, walaupun tujuannya sangat baik.
"Makasih pak atas kesempatannya hari ini kami pertama menyampaikan permohonan maaf saya punya ide dan mungkin yang kurang tepat tapi tujuannya mungkin cukup baik," katanya.
Ia juga mengakui akan belajar lagi soal komunikasi sebelum menyampaikan ide ke hadapan publik.
"Tapi mungkin kami juga masih belajar bahwa ide-ide di ranah publik harus lebuh baik lagi soal rumah subsidi yang diperkecil," katanya.
Lebih lanjut, ia mengatakan, kalau tujuan ide itu karena banyak anak-anak muda ingin punya rumah di kota.
"Jadi tujuannya sebenarnya sederhana karena kami mendengar banyak sekali anak muda yang ingin sekali tinggal di kota tapi kalau tanahnya di kota mahal kalau mau diperkecil," katanya.
Baca Juga: Dana Rp 130 Triliun dari Danantara untuk KUR Perumahan Ditarget Akhir Juli
Timbulkan Persoalan Sosial
Sebelumnya pakar Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan dari Universitas Gadjah Mada, Nurhadi mengungkap sejumlah persoalan sosial yang berpotensi menghantui rencana pemerintah yang memperkecil ukuran rumah subsidi menjadi 18 meter persegi.
![Pengunjung melihat display rumah subsidi yang telah diperkcil di Jakarta, Senin (16/6/2025). [Suara.com/Alfian Winanto]](https://media.suara.com/pictures/653x366/2025/06/16/93163-rumah-subsidi-pemerintah-rumah-subsidi-yang-diperkecil.jpg)
Dia menilai rencana pemerintah untuk menyediakan hunian bagi masyarakat berpenghasilan rendah atau MBR berpotensi menciptakan kemiskinan baru, jika tidak disertai dengan pendekatan kualitas hunian dan fasilitas pendukung.
“Kebijakan ini perlu ditinjau ulang agar tidak menimbulkan kemiskinan baru di masa depan,” kata Nurhadi dikutip Suara.com dari laman resmi UGM, Kamis (10/7/2025).
Dia menegaskan bahwa ketersediaan rumah bagi masyarakat merupakan salah satu layanan dasar yang harus dipenuhi oleh negara. Namun, bukan berarti mengedepan kuantitas, dan mengabaikan kelayakan dan kualitasnya.
Dia menjelaskan ukuran 18 meter persegi sangat sempit, sehingga tidak dapat memenuhi unsur kelayakan dan mengabaikan kualitas hunian.
"Jika hanya mengejar kuantitas tanpa memperhatikan kualitas, kebijakan ini bisa berdampak pada kesehatan mental, terutama bagi ibu dan anak, serta meningkatkan risiko terjadinya kekerasan dalam rumah tangga (KDRT)," jelas Nurhadi.
Dalam pembangunan kawasan perumahan dibutuhkan pendekatan yang komprehensif.
Dijelaskan Nurhadi, suatu perumahan setidaknya harus memenuhi setidaknya fasilitas dasar seperti akses bersih, sanitasi, akses transportasi, akses ke tempat kerja, dan layanan kesehatan.
“Rumah tanpa pelayanan bukanlah rumah. Namun, itu adalah tempat berlindung tanpa martabat,” tegasnya.
Di sisi lain rumah berukuran 18 meter persegi juga berpotensi menciptakan kawasan kumuh, dan slam area. Terlebih yang menempati adalah masyarakat berpenghasilan rendah dalam satu lokasi.
Nurhadi menyarankan pemerintah dapat, daripada membuat hunian berukuran sempit, solusi alternatifnya dengan membangun rumah susun. Menurutnya dengan anggaran yang sama hunian yang layak bisa terpenuhi, serta didukung fasilitas yang memadai.
"Perlu dilakukan survei langsung kepada masyarakat MBR. Bagaimana yang mereka anggap sebagai rumah layak. Konsultasi ulang dengan calon penghuni sangat diperlukan," kata dia.