Suara.com - Pembahasan 1.676 daftar inventarisasi masalah atau DIM revisi Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) yang dirampungkan Panitia Kerja (Panja) Komisi III DPR dan pemerintah hanya dalam dua hari dipertanyakan. Pembahasan secepat kilat itu berpotensi melahirkan KUHAP yang jauh dari prinsip penghargaan terhadap hak asasi manusia atau HAM.
Pakar hukum tata negara Universitas Brawijaya, Aan Eko Widiarto meyakini bahwa pembahasan yang dimulai sejak Rabu 8 Juli dan selesai pada Kamis 10 Juli terhadap 1.676 daftar inventarisasi masalah revisi KUHAP tidak dilakukan secara komprehensif.
Menurutnya, sangat tidak masuk akal, pembahasannya rampung dalam dua hari, mengingat terdapat 1.676 daftar inventarisasi masalah.
Dengan waktu yang singkat itu saja, katanya, tidak cukup untuk sekedar membaca 1.676 daftar inventarisasi masalah yang ada, apalagi melakukan diskusi antara pemerintah dan DPR.
"Konsekuensinya apabila pembahasannya seperti ini, maka akan banyak. Karena tidak informed consent antara masyarakat yang nanti akan terkena dari rancangan undang-undang ini, khususnya adalah terkait dengan jaminan hak asasi manusia terhadap mereka (masyarakat)," kata Aan saat dihubungi Suara.com pada Jumat, 10 Juli 2025.
![Rapat Paripurna DPR RI [Antara]](https://media.suara.com/pictures/653x366/2024/03/05/40120-rpat-paripurna-dpr-ilustrasi-dpr.jpg)
Aan menegaskan bahwa revisi KUHAP ini sangat erat kaitannya dengan penegakan HAM bagi masyarakat.
"Misalnya dalam proses penangkapan, dalam proses penahanan, kemudian juga dalam proses tuntutan, persidangan. Nah ini semua memerlukan jaminan HAM yang seharusnya ada judicial security, ada pengawasan pengadilan terhadap proses ini semua," jelas Aan.
Oleh karenanya menjadi penting pembahasan DIM undang-undang tersebut dilakukan secara komprehensif, sehingga tidak berdampak terhadap penegakan HAM masyarakat, khususnya ketika berhadapan dengan hukum.
"Sehingga nanti ketika sudah jadi KUHAP, betul-betul bisa melindungi. Jadi tidak hanya sekedar ini pikiran dari pengusul, kemudian pikiran dari DPR, tapi (masyarakat) pihak yang nanti akan terkena undang-undang ini, itu juga seharusnya didengar pendapatnya," ujar Aan.
Baca Juga: Jika DPR Mau, Skandal Fufufafa Dianggap Ampuh Lengserkan Gibran Tanpa 'Usik' Prabowo
Lebih lanjut, Aan menilai, pembahasan yang hanya dilaksanakan dua hari semakin menunjukkan terabaikannya meaningful participation atau partisipasi publik yang berarti. Dia mengingatkan bahwa meaningful participation bukan hanya dalam tahap penyusunan.
"Penyusun tidak hanya selesai melakukan penyerapan partisipasi masyarakat, tetapi juga pembahas dalam hal ini adalah DPR dan pemerintah, khususnya DPR, karena memang ini tahapannya ada di DPR, ini seharusnya ada meaningful participation juga di dalamnya," kata Aan.
"Nah, ini yang menurut saya tidak proper, tidak sesuai, abai terhadap meaningful participation, dan ketentuan pembentukan peraturan undang-undangan yang diatur dalam Undang-Undang Dasar," sambungnya.