Suara.com - Sebanyak 249 Taruna Akademi Kepolisian (Akpol) Angkatan 57 Batalyon Adhi Wiratama telah resmi dinyatakan lulus melalui Sidang Dewan Akademik Penetapan Kelulusan yang digelar di Akpol Semarang.
Dalam sidang ini, Fathan Putra Rifito ditetapkan sebagai lulusan terbaik dan menerima Piagam serta Medali Adhi Makayasa, penghargaan tertinggi atas prestasi kumulatif terbaik dari seluruh aspek penilaian.
Fathan juga meraih Piagam dan Medali Ati Tanggon, sebagai penghargaan atas nilai karakter terbaik selama masa pendidikan di Akademi Kepolisian.
Fathan merupakan putra dari pasangan Irjen Barito Mulyo Ratmono yang merupakan anggota aktif Polri, dan Hening Fitricia.
Prestasi yang dirain Fathan ini tampaknya tak lepas dari didikan sang ayah. Irjen Barito dikenal sebagai perwira intelektual karena menulis sejumlah buku.
Seperti apa jejak karier Irjen Barito Mulyo Ratmono di Polri? Berikut profilnya.
Sosok Irjen Barito Mulyo Ratmono
Lahir di Jakarta pada 18 November 1974, jejak Barito Mulyo Ratmono sudah menunjukkan keunikan sejak awal.
Sebagai angkatan pertama dari sekolah bergengsi SMA Taruna Nusantara, ia ditempa dengan disiplin militer dan keunggulan akademik.
Baca Juga: Mau Jadi Perwira Polisi? Cek Besaran Gaji dan Tunjangan Lulusan Akpol di Sini!
Setelah lulus dari Akademi Kepolisian (Akpol) pada tahun 1996, Barito pernah menempati sejumlah jabatan strategis.
Dia pernah menjadi Kapolsek di Purwokerto, Kasat Intelkam di Cilacap dan Singkawang, hingga Kapolres di Konawe. Dia juga sempat menjabat sebagai Wakil Direktur Intelkam Polda Jawa Barat.
Dia lalu ditugaskan sebagai Staf Ahli di Badan Intelijen Negara (BIN) di Badan Narkotika Nasional (BNN) dan kini menjadi Analis Kebijakan Utama Bidang Sespimti Lemdiklat Polri.
Pengalaman ini memberinya pemahaman mendalam tentang realitas sosial di masyarakat. Namun, di sisi lain, naluri intelektualnya terus bekerja.
DIa bukan sekadar jenderal dengan deretan bintang di pundak, melainkan seorang pemikir, akademisi, dan penulis yang telah lama membedah ancaman terbesar abad ini: hoax dan perang informasi.
Saat banyak perwira fokus pada karier penindakan, Barito justru menenggelamkan diri dalam dunia kajian ilmu.
Puncaknya adalah ketika ia meraih gelar Doktor dari program studi Kajian Budaya dan Media di Universitas Gadjah Mada (UGM) pada 2013 dengan predikat cum laude.
Sebuah pencapaian langka bagi seorang perwira polisi aktif, yang menandakan kegelisahannya terhadap fenomena sosial dan media yang sedang berubah drastis.
Kombinasi antara pengalaman lapangan dan ketajaman akademis inilah yang menjadi kekuatannya.
Kegelisahannya terhadap ancaman di ruang siber ia tuangkan dalam serangkaian penelitian dan buku yang relevan dengan kondisi kekinian.
Jauh sebelum istilah post-truth menjadi perbincangan umum, Barito telah menulis karya-karya penting seperti:
- Cyber-hoaxes dan Implikasinya bagi Stabilitas Keamanan Nasional (2018)
- Kebohongan di Dunia Maya (2018)
- Demokrasi di Era Post Truth (2021)
- Medsos di Antara Dua Kutub (2021)
Buku-buku ini bukan sekadar tulisan, melainkan analisis strategis tentang bagaimana berita bohong dan perang narasi di media sosial dapat mengancam stabilitas negara dan memicu potensi disintegrasi bangsa. Ia membedah anatomi hoax, dari isu ideologi Pancasila hingga berita palsu seputar vaksin Covid-19, menunjukkan betapa berbahayanya ancaman tak terlihat ini.
Dari ruang-ruang diskusi di UGM, jalanan sebagai Kapolsek, hingga koridor senyap Badan Intelijen Negara, perjalanan karier Irjen Barito adalah cerminan dari tantangan zaman.
Ia adalah sosok jenderal yang tidak hanya memegang senjata, tetapi juga pena dan gagasan untuk melawan musuh terbesar demokrasi modern: kebohongan.