Suara.com - Kebakaran hutan dan lahan (karhutla) kembali menjadi ancaman serius di Sulawesi Selatan (Sulsel).
Kementerian Kehutanan mencatat total luas lahan yang terbakar sejak Januari hingga awal Juli 2025 mencapai 474,91 hektare.
Luas ini sama dengan sekitar 664 lapangan sepak bola ukuran standar.
Wilayah terparah berada di luar kawasan hutan, khususnya Areal Penggunaan Lain (APL).
Hal tersebut diungkapkan Staf Ahli Menteri Kehutanan Bidang Hubungan Antar Lembaga, Fahrizal saat berkunjung ke Kantor Gubernur Sulsel, Jumat, 11 Juli 2025.
Kata Fahrizal, sebagian besar titik panas atau hotspot teridentifikasi berada di wilayah pertanian dan perkebunan milik warga.
"Untuk hotspot cukup banyak. Setelah diidentifikasi sebagian itu adalah pada kawasan pertanian dan perkebunan. Di luar kawasan hutan, dia berada di kawasan APL (Areal Penggunaan Lain) dan luasannya kurang lebih 400 hektare dari Januari sampai Juli awal," ujar Fahrizal.
Dari data yang dihimpun, Kabupaten Pinrang menjadi daerah dengan tingkat kebakaran tertinggi dengan 311,01 hektare.
Disusul oleh sejumlah daerah lain seperti Sidrap 85,09 hektare, Wajo 68,71 hektare, Enrekang 6,94 hektare, Luwu Timur 2,12 hektate, dan Luwu 1,04 hektare.
Baca Juga: Indonesia Dukung Mekanisme Pendanaan Baru untuk Hutan Tropis: Apa Itu TFFF dan Mengapa Penting?
"Yang terbesar untuk luasan itu terjadi di Pinrang. Ada 300 hektare lebih," katanya.
Fahrizal menjelaskan, mayoritas kebakaran dipicu oleh kebiasaan lama petani yang membakar jerami sisa panen sebagai bagian dari proses pembersihan lahan.
Praktik ini meski dinilai cepat dan efisien oleh pelaku, justru memicu potensi kebakaran yang tak terkendali.
"Berdasarkan identifikasi di lapangan itu, seperti yang disampaikan oleh Kepala KPH (Kesatuan Pengelolaan Hutan), itu terjadi karena lahan pertanian di saat mereka membersihkan setelah panen, itu dibakar," ucapnya.
Ia menyebut perlu adanya edukasi kepada masyarakat agar beralih ke metode yang lebih ramah lingkungan. Salah satunya, dengan memanfaatkan jerami menjadi pakan ternak dalam bentuk silase.
"Ini yang mungkin yang disampaikan oleh Pak Gubernur bahwa perlu edukasi kepada masyarakat jerami-jerami itu tidak perlu dibakar. Bisa dimanfaatkan menjadi pakan ternak. Diubah menjadi silase nantinya. Jadi, di saat kita paceklik untuk pakan ternak itu bisa digunakan untuk pakan ternak," sebutnya.
Dalam hal penanganan karhutla, Fahrizal berharap pemerintah kabupaten dan kota turut aktif menggerakkan upaya pencegahan dan penanggulangan.
Meskipun di kawasan hutan telah terdapat pasukan khusus Manggala Agni, di luar kawasan tersebut penanganan lebih banyak bergantung pada Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD).
"Kita berharap dukungan dari pemerintah kabupaten kota yang ada di Sulsel untuk menggerakkan. Kalau kami sudah ada Manggala Agni untuk kawasan hutan. Di luar kasus hutan, biasanya BPBD untuk meningkatkan kesiapsiagaannya," tuturnya.
Sayangnya, Fahrizal mengakui keterbatasan personel menjadi tantangan tersendiri. Saat ini, personel Manggala Agni yang berada di Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH) Sulsel hanya sekitar 70 orang.
"Tadi disampaikan terutama untuk tenaga Manggala Agni yang di KPH ada 70 orang. Itu memang jumlahnya masih terbatas. Kami juga punya personel di Manggala Agni. Jadi, ini juga saling membantu nantinya," paparnya.
Risiko Berulang
Dengan cuaca ekstrem dan tren kekeringan yang meningkat, potensi karhutla diprediksi masih akan terus berulang jika tidak ada perubahan perilaku dan peningkatan infrastruktur mitigasi.
Sulawesi Selatan bukan satu-satunya provinsi yang terdampak karhutla. Namun data terbaru ini menempatkan wilayah tersebut dalam kondisi rawan, terlebih dengan dominasi kebakaran di lahan non-kawasan hutan.
Pemerintah pusat melalui Kementerian Kehutanan menekankan pentingnya kolaborasi lintas sektor, mulai dari edukasi masyarakat, kesiapsiagaan aparat daerah, hingga peningkatan kapasitas tenaga lapangan agar potensi kebakaran bisa diminimalkan ke depan.
Kontributor : Lorensia Clara Tambing