Meskipun saat ini terganjal kepentingan elite, Prof. Sulfikar percaya bahwa isu pemakzulan ini berpotensi menjadi gerakan masif. Namun, ada satu pemicu utama: krisis ekonomi yang langsung memukul rakyat.
Selama ekonomi stabil, gerakan ini akan sulit membesar. Namun, jika situasi memburuk, kemarahan publik bisa menjadi bahan bakar utama yang tak terhindarkan.
"Gerakan masyarakat sipil yang kuat untuk menuntut pemakzulan membutuhkan faktor pemicu yang lebih kuat, seperti kondisi sosial ekonomi yang menurun drastis," jelasnya.
Ini berarti, masa depan politik Gibran bisa sangat bergantung pada kemampuan pemerintahan Prabowo dalam menjaga stabilitas ekonomi. Jika gagal, 'bom waktu' ketidakpuasan publik bisa meledak kapan saja.
Sementara itu, dari sisi internal koalisi, Presiden terpilih Prabowo Subianto dinilai masih mengambil sikap aman. Menurut Prof. Sulfikar, Prabowo belum melihat urgensi untuk ikut campur dalam wacana pelengseran wakilnya.
"Prabowo dinilai belum memiliki kepentingan kuat untuk mendukung pemakzulan Gibran dan cenderung membiarkannya," ungkapnya.
Sikap Prabowo ini mencerminkan dinamika internal kekuasaan yang masih cair, di mana isu pemakzulan Gibran dibiarkan bergulir sebagai bagian dari lanskap politik yang kompleks.