Suara.com - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menyampaikan keberatan terhadap Rancangan Undang-Undang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (RUU KUHAP), khususnya soal aturan larangan bepergian ke luar negeri hanya untuk tersangka. Pasalnya, selama ini KPK bisa mengajukan pencegahan ke luar negeri juga untuk saksi sebagaimana yang diatur dalam UU KPK.
“Di RKUHAP itu yang bisa dilakukan cekal adalah hanya tersangka, namun KPK berpandangan cekal tentunya tidak hanya dibutuhkan bagi tersangka saja, tapi bisa juga terhadap saksi ataupun pihak-pihak terkait lainnya,” kata Juru Bicara KPK Budi Prasetyo kepada wartawan, Selasa (15/7/2025).
Menurut dia, keberadaan pihak terkait untuk tetap berada di dalam negeri sangat penting dalam proses penyidikan, termasuk pemeriksaan saksi.
“Esensi dari cekal itu adalah kebutuhan atau keberadaan dari yang bersangkutan untuk tetap di dalam negeri sehingga ketika dilakukan proses-proses penyidikan dapat dilakukan lebih efektif,” tutur Budi.
“Misalnya dilakukan pemanggilan untuk pemeriksaan itu bisa segera dilakukan sehingga prosesnya itu juga bisa menjadi lebih cepat, efektif dan tentu itu baik untuk semua,” tambah dia.
Budi menjelaskan KPK sedang melakukan kajian menyeluruh terhadap draf RUU KUHAP. Nantinya, hasil kajian itu diharapkan akan menjadi pertimbangan bagi pemerintah dan DPR sebelum disahkan menjadi undang-undang.
“KPK nanti akan memberikan masukan dari hasil kajian yang sudah dilakukan, termasuk pengayaan dari para pakar hukum yang sudah diundang oleh KPK,” tandas Budi.
Dalam Bagian Kesembilan Draf RKUHAP Pasal 133, diatur mengenai larangan bagi tersangka untuk ke luar wilayah RI. Ada tiga ayat yang diatur mengenai pelarangan ke luar negeri bagi tersangka. Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pencegahan diatur dalam Peraturan Pemerintah.
Di sisi lain, Undang-undang KPK memberikan kewenangan kepada lembaga antirasuah untuk memerintahkan instansi terkait agar melarang seseorang bepergian ke luar negeri.
Baca Juga: Eks Stafsus Nadiem Masih Diperiksa Kejagung Usai Dijemput Paksa, Ibrahim Arief Bakal Jadi Tersangka?
Sebelumnya, KPK menilai ada beberapa ketentuan dalam Revisi Undang-undang (RUU) Kitab Hukum Acara Pidana (KUHAP) yang bertentangan dengan kewenangannya.
Juru Bicara KPK Budi Prasetyo menjelaskan beberapa di antaranya ialah ketentuan soal fungsi penyadapan dan kewenangan penyelidik yang dinilai menjadi lebih lemah.
Dalam draf revisi KUHAP, penyadapan harus dimulai pas penyidikan dan meminta izin pengadilan untuk menyadap.
“Terkait dengan penyadapan, misalnya di mana dalam RUU KUHAP tersebut disebutkan penyadapan dimulai pada saat penyidikan dan melalui izin pengadilan daerah setempat," kata Budi.
Hal itu bertentangan dengan ketentuan yang selama ini diikuti KPK yaitu bisa melakukan penyadapan hanya dengan memberikan informasi kepada Dewan Pengawas (Dewas) KPK.
“KPK tetap melaporkan kepada Dewan Pengawas dan penyadapan yang KPK lakukan itu selalu diaudit, jadi penyadapan ini dipastikan betul-betul untuk mendukung penanganan perkara di KPK,” ujar Budi.