Suara.com - Kebijakan Gubernur Jawa Barat Dedi Mulyadi mengubah nama RSUD Al Ihsan menjadi RSUD Welas Asih memantik polemik tajam dari kalangan akademisi. Dosen Fakultas Pendidikan Ekonomi dan Bisnis Universitas Pendidikan Indonesia (UPI), Suwatno.
Dia menilai langkah tersebut merupakan cerminan dari pengambilan keputusan yang minim partisipasi publik, terkesan gegabah, dan lebih mementingkan simbolisme ketimbang substansi perbaikan layanan.
Kritik ini membuka diskusi penting mengenai prioritas pemerintah daerah: apakah fokus pada branding baru atau memperbaiki kualitas pelayanan yang nyata dirasakan masyarakat?
Fokus Simbol, Abaikan Substansi?
Menurut Suwatno, energi dan anggaran yang dialokasikan untuk pergantian nama seharusnya bisa dimanfaatkan untuk hal yang jauh lebih mendesak dan bermanfaat. Ia mempertanyakan urgensi di balik kebijakan yang terkesan mengabaikan masalah inti dari sebuah rumah sakit.
"Jika layanan kesehatan masih lamban, antrean pasien masih panjang, keluhan masyarakat masih banyak, maka mengganti nama tidak akan membawa perubahan berarti. Malah justru bisa menimbulkan kesan bahwa pemerintah daerah lebih sibuk mengurus simbol ketimbang substansi," ucapnya dalam keterangan di Bandung, Kamis 17 Juli 2025 dilansir dari Antara.
Suwatno secara terbuka mempertanyakan landasan dari keputusan ini.
"Apakah pernah dilakukan survei atau minimal public hearing? Apakah ada aspirasi masyarakat yang benar-benar menuntut penggantian nama? Ataukah ini sekadar refleksi selera pribadi yang dibungkus dalam dalih kebudayaan?," katanya.
Biaya Mahal dan Kerugian 'Branding' yang Tak Ternilai
Baca Juga: Merasa Gagal Berumah Tangga, Ini Pesan Dedi Mulyadi Untuk Anak Sulungnya
Dari sisi manajemen merek, Suwatno menegaskan bahwa mengganti nama institusi publik seperti RSUD Al Ihsan bukanlah perkara sepele. Nama "Al Ihsan" bukan sekadar label, melainkan sebuah merek yang sudah dikenal luas dan melekat kuat di benak masyarakat Jawa Barat.
"Mengubahnya berarti mengulang proses panjang membangun awareness, citra, dan kepercayaan dari nol. Setiap brand membawa investasi yang tak ternilai dalam bentuk memori kolektif. Lalu, (jika) dengan mudahnya diganti seolah hanya memindahkan papan nama, justru menunjukkan betapa kebijakan ini tampak lebih politis daripada rasional," ujarnya.
Lebih jauh, ada konsekuensi biaya riil yang sangat besar di balik pergantian nama, meliputi:
- Cetak ulang jutaan dokumen resmi.
- Desain ulang seluruh atribut visual.
- Penggantian logo di ambulans, seragam, dan gedung.
- Modifikasi papan petunjuk arah di berbagai lokasi.
- Pembaruan sistem informasi digital dan website.
Mitos Nama 'Asing' dan Nilai Universal 'Ihsan'
Suwatno juga membantah argumen yang mungkin menganggap nama "Al Ihsan" bernuansa asing dan tidak selaras dengan budaya lokal. Menurutnya, kata "Ihsan" memiliki makna universal yang sangat positif: kebaikan, keikhlasan, dan pelayanan optimal. Nilai-nilai ini, katanya, justru sejalan dengan semangat kemanusiaan dan moral pelayanan kesehatan.
"Bukankah itu semua sesuai? Bahkan realitas sosial menunjukkan bahwa masyarakat Sunda memiliki hubungan historis dan kultural yang erat dengan Islam," katanya.
Ia membandingkan dengan RSUD di daerah lain seperti RSUD Syekh Yusuf di Gowa, yang menggunakan nama tokoh Islam tanpa kehilangan konteks lokalnya. Menurutnya, nama "Ihsan" justru jauh lebih netral. "Justru nama 'Ihsan' lebih netral dibanding nama tokoh penyebar agama Islam yang lebih 'ideologis'," ujarnya.