Suara.com - Bertahun-tahun isu ijazah Presiden Joko Widodo (Jokowi) bergulir, layaknya bola salju yang tak kunjung mencair.
Meskipun pihak Universitas Gadjah Mada (UGM) dan kepolisian telah memberikan klarifikasi, keraguan terus dipelihara dan bahkan dibawa ke meja hijau berkali-kali.
Fenomena ini memicu pertanyaan mendasar, terutama bagi generasi muda yang kritis: mengapa selembar kertas bisa menjadi persoalan publik yang begitu alot dan mengguncang panggung politik?
Jawabannya ternyata lebih dalam dari sekadar pembuktian formal.
Ini adalah tentang transparansi, akuntabilitas, dan hak publik untuk tahu.
Bukan Urusan Privat: Kenapa Ijazah Presiden Jadi Kepentingan Publik?
Saat seorang menjadi pejabat publik, terlebih seorang presiden, hampir tidak ada lagi aspek kehidupannya yang murni bersifat privat, termasuk riwayat pendidikannya.
Ijazah bukan lagi sekadar dokumen pribadi, melainkan bukti kualifikasi yang menjadi salah satu syarat sah untuk memimpin negara.
Hal ini ditegaskan oleh para pakar. Pengamat Politik dari Universitas Nasional (Unas), Selamat Ginting, mengingatkan bahwa UGM adalah perguruan tinggi negeri yang operasionalnya dibiayai oleh Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN), yang notabene berasal dari pajak rakyat.
Baca Juga: Momen Prabowo Tunjuk Hidung Koruptor: Mereka Dalang di Balik Isu 'Indonesia Gelap'
"Dan UGM jangan lupa, itu perguruan tinggi negeri (PTN) dibiayai dari APBN, APBN itu dari pajak rakyat, rakyat ingin mengetahui kasus dugaan ijazah palsu Jokowi ya sudah jangan ditutup-tutupi, buka saja," tegas Selamat dikutip Senin (21/7/2025).
Pernyataan ini menggarisbawahi esensi masalah, publik punya hak untuk menuntut transparansi dari lembaga negara (dalam hal ini UGM) terkait informasi krusial mengenai pemimpin mereka.
Keabsahan ijazah seorang presiden adalah cerminan integritas, tidak hanya bagi individu tersebut tetapi juga bagi institusi pendidikan yang mengeluarkannya dan sistem politik yang memvalidasinya.
Drama di Meja Hijau: Gugatan Datang dan Pergi, Kepastian Masih Gamang
![Jokowi saat mengisi pesan kebangsaan di Kongres PSI di Gedung Graha Saba Buana Solo, Sabtu (19/7/2025) sore. [Suara.com/Ronald Seger Prabowo]](https://media.suara.com/pictures/653x366/2025/07/19/21654-jokowi.jpg)
Perkembangan kasus ijazah Jokowi di ranah hukum menunjukkan betapa rumitnya persoalan ini.
Sejak pertama kali mencuat pada 2022 melalui gugatan Bambang Tri Mulyono, rentetan laporan dan gugatan terus bermunculan.
Gugatan Berulang: Kasus ini telah singgah di berbagai pengadilan, mulai dari Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Pusat, PN Surakarta, hingga PN Sleman, dengan penggugat yang berbeda-beda.
Putusan dan Banding: Baru-baru ini, gugatan yang diajukan oleh Muhammad Taufiq di PN Solo dinyatakan gugur. Namun, pihak penggugat tidak menyerah dan berencana mengajukan banding, mengklaim memiliki temuan baru.
Klarifikasi Hukum: Di sisi lain, tim kuasa hukum Jokowi telah menyerahkan ijazah asli ke Bareskrim Polri pada Mei 2025. Hasilnya, Bareskrim menyatakan ijazah tersebut asli dan identik dengan lulusan UGM lainnya pada periode yang sama.
Kondisi ini menciptakan sebuah paradoks. Di satu sisi, lembaga hukum dan investigasi resmi telah menyatakan keaslian ijazah tersebut. Di sisi lain, gelombang gugatan terus berdatangan, menjaga agar isu ini tetap hidup dan menciptakan ketidakpastian (gamang) di mata publik.
Klarifikasi Resmi vs. Keraguan Publik: Siapa yang Harus Dipercaya?
Di sinilah letak tantangan terbesar di era digital. UGM sebagai almamater telah berkali-kali memberikan klarifikasi bahwa Jokowi adalah benar alumnus mereka.
Namun, pernyataan resmi ini seakan tak berdaya melawan narasi keraguan yang terus disebarkan di media sosial, sering kali didukung oleh "analisis" dari tokoh-tokoh tertentu seperti Roy Suryo.
Bagi anak muda, fenomena ini adalah studi kasus nyata tentang pentingnya literasi digital.
Ketika klaim dan bantahan sama-sama viral, kemampuan untuk memilah informasi, memeriksa sumber, dan memahami konteks menjadi sangat krusial.
Polemik ijazah ini menunjukkan betapa mudahnya sebuah isu teknis dipolitisasi untuk mendelegitimasi seorang tokoh atau institusi.
Kesimpulan: Ini Lebih dari Sekadar Ijazah
Pada akhirnya, polemik ijazah Jokowi bukan lagi murni tentang keaslian selembar dokumen.
Isu ini telah berevolusi menjadi arena pertarungan politik, simbol polarisasi, dan ujian berat bagi kepercayaan publik terhadap institusi negara—baik itu kepresidenan, yudikatif, maupun akademik.
Presiden Jokowi sendiri menduga ada agenda politik di balik tudingan yang tak kunjung usai ini, yang bertujuan merusak reputasinya.
Terlepas dari benar atau tidaknya dugaan itu, yang jelas kasus ini telah menjadi preseden tentang bagaimana informasi personal seorang pemimpin dapat dieksploitasi dalam lanskap politik yang terbelah.