Suara.com - Polemik mengenai keaslian ijazah Jokowi terus bergulir. Tidak hanya di media sosial, masalah ini berlanjut sampai ke ranah hukum.
Perdebatan, silang pendapat, saling serang antara kubu pro Jokowi dan kontra Jokowi masih menghiasi pemberitaan utama media.
Guru Besar Psikologi UGM, Prof. Koentjoro meminta masyarakat untuk menyudahi perdebatan mengenai ijazah Jokowi karena kini sudah masuk ke ranah hukum.
Menurut dia, pihak yang menuding ijazah Jokowi palsu tidak bisa memaksakan kehendaknya agar Jokowi menunjukkan ijazahnya ke publik.
"Jokowi sudah mengizinkan akan membuktikan itu di sidang. Dan itu adalah hak Jokowi untuk menunjukkan itu. Kenapa kita harus memaksa? Bukankah seseorang punya hak untuk menunjukkan atau tidak?" katanya.
Selain itu, Koentjoro menilai polemik ini juga menguntungkan Jokowi karena membuat Presiden ke-7 RI terus menerus dibicarakan publik.
"Apakah justru ini tidak menjadi alat dari Pak Jokowi agar dia tetap bisa tampil di dunia maya ini? Bahwa dia sekarang masih dilihat, didengar, tidak tenggelam oleh keadaan. Jadi saya kira keduanya punya kepentingan dalam kasus ini," tutur Koentjoro.
"Justru di sinilah saya katakan, Pak Jokowi di sini bermain. Dia punya kepentingan lain. Nah sekarang, mau tidak kita dipermainkan oleh kedua belah pihak seperti ini? Ini kan Jokowi jadi semakin punya panggung. Kalau tidak ada pertanyaan ini, barangkali dia sudah tenggelam," lanjutnya.
Sebagai akademisi UGM Koentjoro percaya keabsahan ijazah Jokowi. Ia mengatakan berani bicara ini demi kebenaran.
Baca Juga: Roy Suryo Kantongi 10 Ijazah Pembanding, Kasus Ijazah Jokowi Makin Panas
"Saya juga tidak sepenuhnya dukung Pak Jokowi. Ketika saya membaca petisi UGM dulu, saya justru bertentangan dengan Pak Jokowi. Tetapi saya berpendapat, saya sebagai orang UGM yang tahu bahwa Pak Jokowi itu lulusan UGM, maka kebenaran harus saya tegakkan," kata Koentjoro, dikutip dari kanal YouTube Forum Keadilan TV, Senin (21/7/2025).
"Meskipun sekarang dalam banyak hal saya masih tidak suka dengan kebijakan Pak Jokowi. Jadi sekali lagi, di mata saya, seorang profesor, seorang guru, salah itu boleh, tapi jangan sampai saya berbohong," tegasnya.
Prof. Koentjoro adalah seorang akademisi dengan kredensial yang tak perlu diragukan. Dedikasinya pada ilmu psikologi terbentang dari Indonesia hingga Australia. Setelah menamatkan studi sarjananya di Fakultas Psikologi UGM, ia melanglang buana ke Negeri Kanguru.
Beliau meraih gelar magister (MBSc) dalam bidang Behavior Science dan gelar doktor (Ph.D.) di bidang Social Work & Social Policy dari LaTrobe University, Australia.
Disertasinya yang berjudul "Understanding Prostitution From Rural Communities of Indonesia" menunjukkan kedalaman risetnya pada isu-isu sosial yang paling kompleks dan seringkali termarjinalkan di Indonesia.
Tak berhenti di situ, ia juga memperkaya ilmunya dengan mengikuti kursus singkat tentang Drug Surveillance di Victoria University.
Diangkat menjadi Guru Besar pada tahun 2005, Prof. Koentjoro menyampaikan pidato pengukuhan yang visioner tentang pentingnya perubahan paradigma dalam psikologi sosial di Indonesia.
Keahliannya tidak terbatas pada satu bidang. Minat risetnya sangat luas dan menyentuh sisi-sisi "gelap" namun krusial dalam masyarakat.
Mulai dari pengembangan komunitas, dampak pembangunan, kebencanaan, hingga anak jalanan, narkoba, dan prostitusi menjadi ladang penelitiannya.
Ia juga mendalami bidang yang jarang disentuh seperti psikologi forensik—yang menjembatani ilmu kejiwaan dengan hukum—serta psikologi seni dan kebudayaan.
Sebagai seorang pendidik, Prof. Koentjoro adalah sosok sentral di Fakultas Psikologi UGM. Ia mengampu mata kuliah-mata kuliah kunci yang membentuk cara berpikir mahasiswa dari jenjang Sarjana (S1) hingga Doktoral (S3).
Beberapa di antaranya adalah Metode Penelitian Kualitatif, Psikologi Pemberdayaan Masyarakat, Psikologi Kebencanaan, hingga mata kuliah spesialis di tingkat magister seperti Psikologi Perdamaian, Psikologi Hukum Forensik, dan Psikologi Seni.
Profesor Koentjoro memimpin sivitas akademika UGM melayangkan tamparan keras kepada alumnus terbaiknya, Presiden Joko Widodo.
Melalui "Petisi Bulaksumur" yang dibacakan dengan nada bergetar, UGM secara terbuka menuding pemerintahan Jokowi telah melakukan serangkaian penyimpangan yang merusak demokrasi.
Ini bukan sekadar kritik biasa. Ini adalah sebuah gugatan moral dari almamater yang merasa nilai-nilai yang mereka ajarkan telah dikhianati.
Momen dramatis ini diawali dengan sebuah pengakuan getir dari sang profesor. Ia mengungkapkan sebuah kebanggaan yang kini berubah menjadi kekecewaan mendalam.
“Saya bangga UGM (Universitas Gadjah Mada) mampu menguasai negeri ini, karena hampir semua calonnya (capres dan cawapres) dari UGM. Hingga ada sebuah peristiwa yang membuat semuanya berbalik arah sehingga kami hari ini harus menyampaikan petisi ini sebagai peringatan,” pekik Koentjoro di depan massa pada Rabu, 31 Januari 2024.
Frasa "berbalik arah" menjadi kata kunci yang menyiratkan adanya pengkhianatan terhadap cita-cita luhur yang seharusnya diemban seorang alumni UGM yang menjadi pemimpin negara.
Petisi tersebut tanpa tedeng aling-aling merinci "dosa-dosa" pemerintahan yang dianggap sebagai biang keladi kemunduran demokrasi. Tiga poin utama yang menjadi sorotan adalah:
- Pelanggaran Etik di Mahkamah Konstitusi: Merujuk pada skandal putusan yang meloloskan Gibran Rakabuming Raka sebagai calon wakil presiden.
- Keterlibatan Aparat Penegak Hukum: Adanya indikasi mobilisasi aparat dalam proses demokrasi yang seharusnya netral.
- Pernyataan Kontroversial Presiden: Ucapan Jokowi yang menyebut presiden dan menteri boleh berkampanye dan memihak dalam pemilu.
“Itu merupakan wujud penyimpangan dan ketidakpedulian demokrasi,” tegas Koentjoro, Profesor Psikologi UGM tersebut.
Lebih dari sekadar kritik, petisi ini adalah sebuah peringatan keras. Para guru besar, dosen, dan mahasiswa mengingatkan Jokowi sebagai alumni untuk kembali berpegang pada jati diri UGM yang menjunjung tinggi nilai-nilai Pancasila dan berjuang memperkuat demokrasi, bukan justru melemahkannya.
Tuntutan mereka pun jelas dan mengarah langsung ke jantung kekuasaan.
"Sivitas akademika UGM meminta dan menuntut Jokowi, aparat penegak hukum, semua pejabat negara, dan aktor politik yang berada di belakang presiden untuk segera kembali pada koridor demokrasi," demikian bunyi salah satu tuntutan dalam petisi tersebut.