Suara.com - Drama hukum yang menyeret nama Sekretaris Jenderal PDI Perjuangan, Hasto Kristiyanto, akhirnya mencapai klimaks di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta.
Setelah melalui serangkaian persidangan yang menegangkan, Hasto divonis 3 tahun dan 6 bulan penjara. Namun, putusan ini ibarat pedang bermata dua: menghukumnya atas kasus suap, tetapi membebaskannya dari tuduhan perintangan penyidikan yang ikonik.
Vonis ini separuh dari tuntutan jaksa, sebuah putusan yang membelah dakwaan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan meninggalkan jejak perdebatan hukum yang mendalam, terutama soal drama "ponsel yang tenggelam".
Panggung Dakwaan: Dua Senjata Utama KPK
Pada sidang perdananya, Jumat, 14 Maret 2025, Jaksa Penuntut Umum KPK datang dengan dua senjata utama.
Dakwaan pertama adalah tuduhan perintangan penyidikan (obstruction of justice) dalam kasus Harun Masiku.
Jaksa menuding Hasto secara aktif berupaya menghilangkan jejak setelah OTT KPK terhadap eks Komisioner KPU, Wahyu Setiawan.
"Hasto juga memerintahkan ajudannya, Kusnadi, untuk menenggelamkan telepon genggam sebagai antisipasi upaya paksa oleh penyidik KPK," ucap JPU KPK, melukiskan adegan krusial yang menjadi salah satu pilar dakwaan.
Dakwaan kedua adalah inti dari kasus ini: suap. Hasto didakwa bersama-sama sejumlah pihak telah memberikan uang senilai 57.350 Dolar Singapura, atau setara Rp 600 juta, kepada Wahyu Setiawan.
Baca Juga: Sudah Bersorak 'Bebas', Massa Pendukung Terkecoh Usai Hasto Divonis 3,5 Tahun Penjara
Uang ini diyakini sebagai pelicin untuk memuluskan jalan Harun Masiku menjadi anggota DPR lewat jalur Pergantian Antarwaktu (PAW).
“Terdakwa bersama-sama Donny Tri Istiqomah, Saeful Bahri dan Harun Masiku telah memberi uang sejumlah SGD 57,350.00 atau setara Rp600 juta kepada Pegawai Negeri atau Penyelenggara Negara yaitu kepada Wahyu Setiawan selaku Anggota Komisi Pemilihan Umum Republik Indonesia (KPU RI),” ungkap JPU.
Dengan dua dakwaan ini, Hasto dijerat pasal berlapis UU Tipikor yang mengancamnya dengan hukuman berat.
Tuntutan Jaksa: Pukulan Telak 7 Tahun Penjara
Keyakinan jaksa atas kedua dakwaan itu terlihat jelas saat pembacaan tuntutan pada Kamis, 3 Juli 2025. Jaksa KPK, Wawan Yunarwanto, meminta majelis hakim menjatuhkan hukuman yang sangat berat.
"Menjatuhkan pidana terhadap terdakwa Hasto Kristiyanto dengan pidana penjara selama 7 tahun dan pidana denda sebesar Rp600 juta subsider 6 bulan kurungan," ujar Jaksa dengan tegas.
Dalam pertimbangannya, jaksa menilai perbuatan Hasto tidak mendukung program pemberantasan korupsi dan ia tidak mengakui perbuatannya.
Sikap sopan selama sidang dan statusnya sebagai kepala keluarga hanya dianggap sebagai faktor ringan. Bagi jaksa, Hasto terbukti bersalah atas kedua tuduhan tanpa keraguan.
Vonis Hakim: Putusan yang Membelah Dakwaan
Pada hari penentuan, Jumat, 25 Juli 2025, Ketua Majelis Hakim Rios Rahmanto mengetuk palu dengan putusan yang mengejutkan banyak pihak. Hasto memang divonis bersalah, namun hukumannya jauh lebih ringan.
"Menjatuhkan pidana oleh karenanya terhadap Terdakwa dengan pidana penjara selama 3 tahun dan 6 bulan," ujar hakim Rios. Hasto juga didenda Rp 250 juta subsider 3 bulan kurungan.
Hakim menyatakan Hasto terbukti bersalah melanggar Pasal 5 ayat 1 huruf a UU Tipikor terkait pemberian suap kepada Wahyu Setiawan.
Namun, untuk dakwaan kedua, hakim memiliki pandangan yang sama sekali berbeda. Majelis hakim membebaskan Hasto dari tuduhan perintangan penyidikan.
"Unsur dengan sengaja mencegah, merintangi atau menggagalkan secara langsung atau tidak langsung penyidikan, penuntutan atau pemeriksaan terhadap tersangka atau saksi atau terdakwa dalam perkara korupsi tidak terpenuhi," kata hakim saat membacakan pertimbangan.
Alasan utama di balik putusan ini adalah soal waktu. Hakim menyoroti bahwa perintah Hasto untuk merendam ponsel terjadi pada 8 Januari 2020, sementara KPK baru secara resmi menetapkan Harun Masiku sebagai tersangka dalam surat perintah penyidikan pada 9 Januari 2020.
"Perbuatan memerintahkan Harun Masiku terjadi 8 Januari 18.19 WIB, surat perintah penyidikan yang menetapkan Harun Masiku tersangka 9 Januari 2020 terjadi selisih waktu yang signifikan secara yuridis perbuatan dilakukan sebelum status tersangka formal melekat ke Harun Masiku," papar hakim.
Terlebih lagi, hakim berpendapat bahwa penyidikan KPK nyatanya tidak terhalang. "HP yang dituduhkan direndam atau ditenggelamkan ternyata masih ada dan dapat disita KPK pada tanggal 10 Juni 2024," imbuh hakim.
Dengan pertimbangan ini, tuduhan perintangan penyidikan yang menjadi salah satu sorotan utama dalam kasus ini dinyatakan gugur.
"Sehingga majelis berkesimpulan bahwa terdakwa harus dibebaskan dari dakwaan kesatu melanggar Pasal 21 Tipikor juncto Pasal 65 ayat (1) KUHP," tutup hakim.