Suara.com - Sekjen PDIP, Hasto Kristiyanto, dinyatakan bersalah dalam kasus suap terhadap komisioner KPU, Wahyu Setiawan, terkait pergantian antarwaktu (PAW) Harun Masiku.
Majelis hakim Pengadilan Negeri Tindak Pidana Korupsi Jakarta menjatuhkan hukuman pidana penjara selama tiga tahun dan enam bulan terhadap Hasto.
Hakim Ketua Rios Rahmanto menyatakan Hasto juga dijatuhkan pidana denda sebesar Rp250 juta dengan ketentuan apabila tidak dibayarkan, maka diganti (subsider) dengan pidana kurungan selama 3 bulan.
"Menyatakan terdakwa secara sah dan meyakinkan bersalah turut serta melakukan tindak pidana korupsi berupa pemberian suap secara bersama-sama dan berlanjut," ucap Hakim Ketua dalam sidang pembacaan putusan majelis hakim di Pengadilan Tipikor Jakarta, Jumat.
Majelis Hakim menetapkan Hasto terbukti menyediakan dana suap sebesar Rp400 juta yang akan diberikan kepada anggota Komisi Pemilihan Umum (KPU) periode 2017–2022 Wahyu Setiawan untuk pengurusan pengganti antarwaktu (PAW) calon anggota legislatif.
Perjalanan Politik Hasto
Di panggung politik nasional, nama Hasto Kristiyanto identik dengan posisi strategis Sekretaris Jenderal PDI Perjuangan, orang yang mengendalikan mesin partai pemenang pemilu.
Namun, jauh sebelum menjadi 'jenderal lapangan' yang mengawal dua kemenangan presiden, perjalanannya dimulai dari posisi yang paling sederhana: seorang 'tukang ketik' di ruang-ruang rapat partai.
Kisah Hasto adalah sebuah narasi tentang transformasi seorang teknokrat menjadi politisi ulung, sebuah perjalanan yang membuktikan bahwa di dunia politik, loyalitas dan ketekunan bisa mengalahkan segalanya.
Baca Juga: 'Ramalan' Sekjen PDIP Meleset Dikit, Guntur Romli: Hasto Sudah Tahu Vonisnya Sejak April 2025
Insinyur yang Terpikat Politik
Lahir di Yogyakarta pada 7 Juli 1966, Hasto Kristiyanto sejatinya tidak disiapkan untuk menjadi politisi. Ia adalah seorang insinyur, lulusan Fakultas Teknik Kimia Universitas Gadjah Mada (UGM) pada 1991.
Karier profesionalnya dimulai di BUMN konstruksi, PT Rekayasa Industri, di mana ia terlibat dalam proyek-proyek strategis negara.
Namun, benih-benih ketertarikan pada dinamika kekuasaan sudah tertanam sejak kecil. Kecintaannya pada kisah wayang Mahabharata membentuk pandangannya tentang pertarungan antara kebenaran dan kebatilan. Saat menjadi mahasiswa, ia pun aktif sebagai Ketua Senat Mahasiswa Fakultas Teknik UGM.
Pintu masuknya ke dunia politik praktis terbuka dengan cara yang sangat bersahaja. Hasto memulai keterlibatannya di PDIP sebagai "tukang ketik".
Peran di belakang layar ini memberinya akses langka untuk menyimak dan menyerap langsung dinamika dan strategi yang dibahas para elite partai dalam rapat-rapat penting.
Dari Parlemen ke 'Pengasingan', Lalu Kembali Lebih Kuat
Kesempatan naik kelas datang pada Pemilu 2004. Hasto berhasil terpilih menjadi anggota DPR RI dari Jawa Timur dan bertugas di Komisi VI. Di Senayan, ia terlibat dalam perumusan sejumlah undang-undang krusial, termasuk UU ITE yang kontroversial.
Namun, panggung parlemen tak selamanya menjadi miliknya. Pada Pemilu 2009, Hasto gagal terpilih kembali. Momen ini bisa menjadi akhir dari sebuah karier politik, tapi bagi Hasto, ini adalah ujian loyalitas.
Ia tidak menghilang. Ia tetap berada di jantung partai, aktif memberikan pelatihan kader dan menjabat sebagai Wakil Sekretaris partai, mengasah kemampuannya di luar sorotan lampu parlemen.
Masa "pengasingan" dari Senayan ini justru menjadi titik balik yang menempa kemampuannya sebagai seorang strategis. Ia menjadi sosok kunci di balik layar.
Sang Arsitek Kemenangan dan Kepercayaan Penuh Megawati
Kemampuan Hasto sebagai organisator dan juru bicara mulai bersinar terang saat ia dipercaya menjadi Koordinator Juru Bicara tim pemenangan Jokowi-Jusuf Kalla pada Pilpres 2014. Perannya yang sentral dan efektif dalam mengelola narasi kampanye membuahkan hasil.
Ketika Tjahjo Kumolo, Sekjen petahana, ditarik ke kabinet Presiden Jokowi sebagai Menteri Dalam Negeri, mata Ketua Umum Megawati Soekarnoputri tertuju pada satu nama.
Hasto Kristiyanto ditunjuk untuk mengisi posisi paling vital di partai. Penunjukan ini bukan kebetulan, melainkan buah dari loyalitas tanpa syarat dan kompetensi yang teruji.
Posisinya dikukuhkan di Kongres IV PDIP pada 2015. Di bawah kendalinya, PDIP kembali memenangkan Pemilu 2019, sebuah prestasi yang membuatnya mencetak sejarah: diangkat kembali sebagai Sekjen untuk periode kedua, 2019-2024.
Hasto menjadi satu-satunya Sekjen PDIP yang menjabat dua periode berturut-turut, sebuah bukti kepercayaan penuh dari sang ketua umum.
Di balik citranya sebagai politisi pragmatis, Hasto adalah seorang intelektual. Ia tak berhenti belajar, meraih gelar S-2 dari Prasetya Mulya dan puncaknya meraih gelar Doktor Ilmu Pertahanan dari Universitas Pertahanan.
Disertasinya yang mengkaji pemikiran geopolitik Soekarno menunjukkan kedalaman pemahaman ideologisnya.
Bagi Hasto, Sukarnoisme bukan sekadar jargon, melainkan dasar pemikiran dan spiritual perjuangan yang ia terjemahkan ke dalam strategi partai.
Dari seorang tukang ketik yang menyimak di sudut ruangan, Hasto Kristiyanto telah menjelma menjadi salah satu figur paling berpengaruh, sang motor yang memastikan mesin politik PDIP terus bergerak dengan kekuatan penuh.