Suara.com - Majelis Disiplin Profesi (MDP) menjelaskan soal peran dan fungsinya yang dipertanyakan saat diminta dihapus rekomendasi pengenaan sanksi pidana atau perdata untuk tenaga kesehatan atau tenaga medis dihapus.
Sebagaimana adanya Perkara di Mahkamah Konstitusi (MK) dengan Nomor 156/PUU-XXII/2024 terkait pengujian materi Pasal 308 ayat (1), (2), (3), (4), (5), (6), (7) dan (8) Undang-Undang (UU) Nomor 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia (UUD NRI) Tahun 1945.
Namun dalam sidang lanjutan perkara itu, Wakil Ketua MDP Ahmad Redi menjelaskan, bahwa MDP adalah lembaga penegak disiplin prosesi memiliki original intent untuk memastikan agar tenaga medis (named) dan tenaga kesehatan (nakes) menjalankan seluruh kewajiban hukumnya sesuai ketentuan Pasal 274 UU Kesehatan.
Dengan menegakan disiplin, kata dia, rekomendasi MDP tidak dalam rangka untuk menilai ada atau tidaknya peristiwa pelanggaran hukum yang dilakukan named/nakes.
"MDP merasa penting dan Pasal 308 ini menurut kami sudah sesuai dengan kehendak konstitusi pasal-pasal Undang-Undang Dasar dalam konteks kelembagaan ini sangat membantu dalam rangka perlindungan kepentingan publik sekaligus perlindungan terhadap nakes dan named yang sudah melakukan praktik sesuai standar,” kata Ahmad Redi di hadapan para hakim konstitusi, dikutip Suara.com dari laman MK, Sabtu (26/7/2025).
Menurutnya, MDP berperan berdasar dua ketentuan pertama, Pasal 308 ayat (1) UU Kesehatan berbunyi, “Tenaga Medis atau Tenaga Kesehatan yang diduga melakukan perbuatan yang melanggar hukum dalam pelaksanaan Pelayanan Kesehatan yang dapat dikenai sanksi pidana, terlebih dahulu harus dimintakan rekomendasi dari majelis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 304."
Ke dua, Pasal 308 ayat (2) UU Kesehatan berbunyi, “Tenaga Medis dan Tenaga Kesehatan yang dimintai pertanggungiawaban atas tindakan/perbuatan berkaitan dengan pelaksanaan Pelayanan Kesehatan yang merugikan Pasien secara perdata, harus dimintakan rekomendasi dari majelis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 304.”
Ahmad dalam sidang itu juga menyampaikan, sejak dibentuknya kelembagaan MDP hingga 21 Mei 2025, pihaknya telah menerima permohonan rekomendasi dari berbagai instansi yang ada di seluruh daerah.
MDP telah melayangkan rekomendasi pada perkara pidana yang dapat dilakukan penyidikan sebanyak 27 named/nakes, tidak dapat dilakukan penyidikan terhadap 11 named/nakes, dan masih dalam proses pemeriksaan terhadap tiga permohonan.
Baca Juga: Ketika Tenaga Medis Indonesia Dibantu AI
MDP juga telah mengeluarkan rekomendasi pada perkara perdata sesuai standar terhadap lima named/nakes dan tidak sesuai standar tidak ada/nihil.
Hingga kekinian, MDP masih memenuhi untuk memeriksa dan memberikan jawaban terhadap semua permohonan rekomendasi yang dimohonkan kepada MDP.
Terbatasnya susunan organisasi MDP yang hanya berada di tingkat pusat dengan beranggotakan sembilan orang tidak menghalangi kualitas dan kuantitas kinerja MDP atau menjadi terbengkalainya permohonan rekomendasi yang dimintakan oleh berbagai instansi di seluruh wilayah Indonesia.
Di sisi lain, dalam sidang itu juga Pemohon menghadirkan Ahli, yaitu drg Vera Dumonda Silitonga yang memiliki keahlian dalam bidang Manajemen, Sumber Daya Manusia, Hukum Perdata Kesehatan, dan Manajemen Administrasi Rumah Sakit dalam persidangan.
Vera menegaskan, tenaga medis atau kesehatan memiliki hak untuk dilindungi dari kriminalisasi yang tidak berdasar. Namun, perlindungan tersebut harus diberikan melalui proses hukum yang objektif dan transparan, bukan melalui mekanisme tertutup dan administratif.
“Pasal 308 justru membebankan tanggung jawab perlindungan ini pada satu pintu administratif yang kurang akuntabel dan tidak memiliki mekanisme check and balance seperti di peradilan,” kata Vera.