Komentar seperti "Aura sabu dan tramadol nya sangat kuat" menunjukkan bagaimana persepsi publik dengan cepat mengaitkan daya tahan ekstrem dengan penggunaan zat terlarang, meskipun tudingan ini sama sekali tidak memiliki bukti.
Di luar humor dan tudingan, muncul gelombang kritik yang lebih substansial. Netizen mulai membandingkan "inovasi" sound horeg dengan kemajuan teknologi di negara lain, mempertanyakan prioritas budaya anak bangsa.
"Luar negeri tidak tidur karena inovasi bikin robot dan riset. Ini horeg... Kapan majunya indonesia," tulis seorang warganet dengan nada prihatin.
Kritik ini sejalan dengan komentar lain yang menyoroti dampak sosial langsung dari fenomena ini. "CATAT :
Sound Horeg adalah BENCANA karena, demi sound horeg; lansia, anak bayi, orang sakit, harus mengungsi.. " tegas seorang pengguna, memberikan suara bagi mereka yang merasa terganggu dan dirugikan.
Pertanyaan retoris, "emang di negara maju ada sound horeg ya?" semakin menggarisbawahi persepsi bahwa sound horeg adalah anomali yang menghambat kemajuan.
Pada akhirnya, reaksi netizen terhadap "Thomas Alva Edi Sound Horeg" menunjukkan bahwa Memed bukan lagi sekadar individu. Ia telah menjadi simbol perdebatan sengit tentang batas antara kreativitas budaya, gangguan publik, dan arah kemajuan sebuah bangsa.
Sementara musiknya terus menggelegar, perbincangan tentangnya di dunia maya tak kalah bisingnya.
Bagaimana pendapat Anda?
Baca Juga: Siapa Sebenarnya 'Thomas Alva Edi Sound Horeg', Begadang Seminggu Demi Bass Menggelegar
Apakah komentar netizen ini berlebihan, atau justru mewakili suara keresahan masyarakat yang sebenarnya?
Bergabunglah dalam diskusi dan bagikan pandangan Anda di kolom komentar!