Suara.com - Di jagat maya Indonesia, sebuah fenomena budaya telah melahirkan pahlawan sekaligus anti-pahlawannya sendiri.
Dikenal dengan nama Memed 'Ngawi', operator sound system yang dijuluki “Thomas Alva Edi Sound Horeg.”
Sosoknya yang viral karena ekspresi datar dan dedikasinya yang ekstrem dalam meracik dentuman bass kini menjadi kanvas bagi ribuan komentar netizen yang jenaka, kritis, hingga menaruh curiga.
Klaim bahwa Memed rela tidak tidur selama seminggu demi mengejar beat sempurna telah memicu badai reaksi di media sosial.
Jauh dari sekadar pujian, kolom komentar justru menjadi panggung utama di mana publik membedah fenomena ini dari segala sisi.
Analisis komentar warganet ini mengungkap potret yang jauh lebih kompleks tentang bagaimana sound horeg dipandang oleh masyarakat.
Alih-alih mengagumi inovasinya, banyak netizen justru menyoroti sisi destruktif dari "penemuan" Memed. Komentar-komentar ini, meski bernada humor, menyiratkan keresahan yang nyata.
Seorang pengguna dengan jenaka membandingkan dua 'Thomas Alva'. "Yang asli penemu lampu, yang ini pemecah lampu," tulis seorang warganet, sebuah komentar yang disukai lebih dari 6.000 kali dan menjadi rangkuman sempurna dari dualisme sound horeg.
Komentar lain yang tak kalah pedas namun menggelitik datang dari pengguna yang menulis, "Penemuan yg seharusnya tidak ditemukan". Emoji batu moai di akhir kalimat seolah mewakili ekspresi pasrah sekaligus geli terhadap kreativitas yang dianggap kebablasan ini.
Baca Juga: Siapa Sebenarnya 'Thomas Alva Edi Sound Horeg', Begadang Seminggu Demi Bass Menggelegar
Komentar seperti "Jasamu akan selalu dikenang. Kenangning ningnang ninggung." menunjukkan bahwa meski kontroversial, dentuman khas horeg telah meresap ke dalam budaya populer sebagai sesuatu yang ikonik.
Klaim tidak tidur seminggu penuh menjadi titik picu terbesar bagi spekulasi liar warganet.
Logika sederhana membuat banyak orang meragukan kemampuan manusia normal untuk bertahan tanpa tidur selama itu hanya demi menyetel audio. Akibatnya, tuduhan penggunaan narkotika, khususnya sabu, membanjiri kolom komentar.
"ga tidur seminggu? lu pakai apa bang?" tanya seorang netizen dalam komentar yang disukai ribuan orang.
Kecurigaan ini semakin diperkuat oleh komentar lain yang lebih blak-blakan.
"BNN Plis cek urin orang ini.. kemungkinan besar pasti pakai sabu ni orang..," tulis pengguna lain. Bahkan ada yang berspekulasi dengan lebih detail, "sabu nya di kunyah ini pasti."
Komentar seperti "Aura sabu dan tramadol nya sangat kuat" menunjukkan bagaimana persepsi publik dengan cepat mengaitkan daya tahan ekstrem dengan penggunaan zat terlarang, meskipun tudingan ini sama sekali tidak memiliki bukti.
Di luar humor dan tudingan, muncul gelombang kritik yang lebih substansial. Netizen mulai membandingkan "inovasi" sound horeg dengan kemajuan teknologi di negara lain, mempertanyakan prioritas budaya anak bangsa.
"Luar negeri tidak tidur karena inovasi bikin robot dan riset. Ini horeg... Kapan majunya indonesia," tulis seorang warganet dengan nada prihatin.
Kritik ini sejalan dengan komentar lain yang menyoroti dampak sosial langsung dari fenomena ini. "CATAT :
Sound Horeg adalah BENCANA karena, demi sound horeg; lansia, anak bayi, orang sakit, harus mengungsi.. " tegas seorang pengguna, memberikan suara bagi mereka yang merasa terganggu dan dirugikan.
Pertanyaan retoris, "emang di negara maju ada sound horeg ya?" semakin menggarisbawahi persepsi bahwa sound horeg adalah anomali yang menghambat kemajuan.
Pada akhirnya, reaksi netizen terhadap "Thomas Alva Edi Sound Horeg" menunjukkan bahwa Memed bukan lagi sekadar individu. Ia telah menjadi simbol perdebatan sengit tentang batas antara kreativitas budaya, gangguan publik, dan arah kemajuan sebuah bangsa.
Sementara musiknya terus menggelegar, perbincangan tentangnya di dunia maya tak kalah bisingnya.
Bagaimana pendapat Anda?
Apakah komentar netizen ini berlebihan, atau justru mewakili suara keresahan masyarakat yang sebenarnya?
Bergabunglah dalam diskusi dan bagikan pandangan Anda di kolom komentar!