Suara.com - Penelitian terbaru dari satelit GRACE milik Amerika Serikat dan Jerman menunjukkan bahwa daratan bumi sedang mengalami kekeringan berskala benua, yang belum pernah terjadi sebelumnya.
Fenomena yang disebut sebagai continental mega-drying ini telah menyebabkan penyusutan air tanah secara besar-besaran, gagal panen, hingga berkontribusi pada naiknya permukaan laut.
Peneliti utama dari Arizona State University, Jay Famiglietti, mengatakan bahwa 75 persen populasi dunia kini tinggal di negara yang kehilangan air tawar.
“Kontinen kita mengering, ketersediaan air menyusut, dan kenaikan muka laut kian cepat,” ujarnya, menekankan bahwa kondisi ini adalah momen genting yang membutuhkan aksi dari seluruh pihak.

Yang lebih mengkhawatirkan, sekitar 68 persen dari air yang hilang berasal dari air tanah. Sumber ini selama ini dianggap sebagai “tabungan kuno” bumi, yang seharusnya digunakan hanya dalam situasi darurat.
Namun, menurut peneliti Hrishikesh Chandanpurkar, air tanah justru digunakan secara rutin setiap hari. “Alih-alih digunakan saat krisis, kita malah mengurasnya terus-menerus,” katanya.
Empat kawasan kini masuk ke dalam zona mega drying, termasuk Amerika Utara bagian barat daya dan Meksiko yang mencakup kota-kota besar seperti Los Angeles, hingga wilayah pertanian utama. Alaska dan Kanada utara pun terkena dampak akibat pencairan gletser dan permafrost.
Sementara itu, wilayah Rusia utara dan kawasan MENA-Eurasia, dari Maroko hingga India dan Tiongkok utara, juga menunjukkan tren kehilangan air yang ekstrem. Beberapa kota besar seperti Paris dan Beijing termasuk di dalamnya. Ironisnya, satu-satunya wilayah yang justru menjadi lebih basah adalah kawasan tropis, suatu tren yang tidak diprediksi oleh model iklim global IPCC.
Namun, studi ini tak hanya menyampaikan peringatan, tapi juga menawarkan solusi. Famiglietti menegaskan bahwa krisis ini bisa diperlambat dengan pengelolaan air tanah yang lebih bijak, kerja sama lintas negara, serta kebijakan berbasis data.
Baca Juga: IP Lokal Bisa Jadi Senjata Komunikasi Isu Lingkungan, Bagaimana Caranya?
Selain memperlambat kenaikan muka laut, kebijakan air yang berkelanjutan juga akan membantu menjaga ketahanan pangan dan stabilitas sosial.
Beberapa langkah awal yang direkomendasikan antara lain adalah mengurangi eksploitasi air tanah selama musim hujan dan menggunakan teknologi infiltrasi untuk menyimpan cadangan air.
Pelibatan komunitas lokal juga menjadi kunci dalam pengawasan dan perlindungan sumber air.
Krisis air ini tidak hanya akan berdampak pada negara-negara kering. Kelangkaan air bisa memicu krisis pangan global, inflasi, migrasi, hingga konflik sosial. Memahami skala masalah dan menyebarluaskan informasi berbasis sains menjadi bagian penting dari solusi.
“Ini bukan hanya urusan negara-negara kering. Ini tentang masa depan air untuk generasi mendatang,” tutup Famiglietti.
Penelitian ini akan menjadi fondasi bagi laporan terbaru Bank Dunia tentang krisis air global dan strategi mitigasinya.