Suara.com - Di tengah jerit tangis anak-anak yang menjadi korban pemukulan kayu, sebuah pertanyaan besar muncul, lebih kencang dari sekadar amuk massa di Padang Sarai, kota Padang.
Siapa dalang sebenarnya di balik serangan brutal ke rumah doa umat Kristen ini? Saat narasi resmi mencoba berlindung di balik kata "miskomunikasi", kesaksian dari lapangan justru menunjuk pada kejanggalan yang menyeret nama aparat lokal.
Ini bukan lagi sekadar cerita tentang intoleransi. Ini adalah sebuah tentang adanya kemungkinan pembiaran dan konspirasi yang jauh lebih kelam.
Fokus utama yang membuat insiden ini lebih dari sekadar amuk massa biasa adalah peran aparat lokal beberapa saat sebelum kekerasan meletus.
Kesaksian Pendeta F. Dachi, pemimpin jemaat GKSI Anugerah Padang, membuka sebuah skenario yang wajib diinvestigasi secara mendalam.
“Saat itu datang bapak RT dan pak Lurah. Mereka memanggil saya dan membawa saya ke belakang. Salah satu diantara mereka menyatakan untuk bubarkan dan hentikan kegiatan. Lalu terjadilah insiden itu.”
Kutipan ini adalah jantung dari seluruh kecurigaan.
Alih-alih menjadi penengah, tindakan mereka justru menimbulkan pertanyaan tajam:
Pengalihan Perhatian? Mengapa pemimpin jemaat sengaja "diamankan" dan dibawa menjauh dari lokasi utama?
Baca Juga: Bukan Miskomunikasi? 3 Kejanggalan di Balik Serangan Rumah Doa Kristen di Padang
Apakah ini sebuah taktik—sengaja atau tidak—yang secara efektif memberi ruang kosong bagi massa untuk menyerang tanpa kendali?
Tekanan, Bukan Mediasi? Perintah "bubarkan dan hentikan kegiatan" menunjukkan posisi yang tidak lagi netral.
Mereka tidak datang untuk berdialog, melainkan untuk mengeksekusi tuntutan massa. Ini bukan mediasi, ini adalah tekanan.
Kegagalan Pencegahan? Jika aparat lokal sudah mengetahui potensi amarah warga, mengapa tidak ada langkah-langkah pencegahan atau permintaan bantuan keamanan sebelumnya? Mengapa situasi dibiarkan memanas hingga pecah?
Tudingan keterlibatan ini mengubah wajah kasus secara drastis, dari amuk massa spontan menjadi sebuah insiden yang berpotensi memiliki sutradara.
Saat Anak-Anak Menjadi Korban
Korban paling menyedihkan adalah anak-anak. Saat puluhan dari mereka sedang belajar agama, mereka dipaksa menyaksikan dan merasakan kebrutalan.
Dua anak, berusia 9 dan 11 tahun, harus dilarikan ke rumah sakit.
"Satu anak kakinya cedera dan tidak bisa jalan karena dipukul dengan kayu. Satu lagi bagian bahunya juga dipukul dengan kayu," ungkap Pendeta Dachi.
Kekerasan terhadap anak-anak ini adalah bukti paling nyata bahwa serangan tersebut sudah kehilangan akal sehat dan nurani. Ini bukan lagi soal sengketa bangunan, ini adalah tindak pidana keji yang meninggalkan trauma seumur hidup pada korban paling tak berdaya.
Meskipun kepolisian telah bergerak cepat dan mengamankan sembilan pelaku, publik menuntut lebih.
Sembilan orang ini mungkin hanyalah 'pion' di papan catur yang lebih besar. Pertanyaan "Siapa Dalang?" harus terus dikawal hingga tuntas.
Penegakan hukum wajib membongkar kasus ini hingga ke akarnya:
Siapa yang memprovokasi warga?
Siapa yang mengorganisir massa?
Sejauh mana peran dan tanggung jawab aparat lokal dalam insiden ini?
Menyelesaikan kasus ini hanya dengan menghukum pelaku lapangan sama saja dengan membiarkan akar masalah tetap hidup dan siap memicu konflik serupa di kemudian hari.
Keadilan sejati bagi anak-anak yang terluka di Padang adalah ketika sang dalang—siapapun dia—turut diseret ke meja hijau.