Setiap hari, ia berjalan kaki dari tempat tinggalnya menuju masjid untuk beribadah. Setelah itu, ia melanjutkan perjalanan spiritual ke kompleks makam, mencari kedamaian jiwa dari luka batin yang dalam.
4. Memilih Kesunyian Meski Masih Memiliki Keluarga
Meski tinggal di kolong jembatan, dokter Hafid sejatinya masih memiliki keluarga besar. Ia adalah anak tunggal namun memiliki tiga adik angkat yang semuanya merupakan sarjana kesehatan. Ia juga memiliki hubungan dengan sebuah pondok pesantren di Jember.
Namun, hatinya tak kunjung merasa damai saat berada di tengah keramaian. “Kadang pulang ke Jember, tapi enggak kerasan, lalu balik ke sini lagi,” ujarnya.
Keputusannya untuk hidup menyendiri bukan karena terbuang, tapi merupakan bentuk upaya untuk berdamai dengan kesedihan yang mendalam.
5. Ditinggalkan Dunia Medis demi Ketenangan Batin
Sebelum tragedi datang, Hafid menjalani kehidupan sebagai dokter profesional dengan segala fasilitas yang memadai. Ia mengenakan jas putih dan menggenggam stetoskop, menjalankan praktik bersama sang istri.
Namun kini, kehidupannya berubah total. Ia tidak lagi memedulikan gelar atau status, dan lebih memilih menjalani hidup sederhana yang dipenuhi kontemplasi.
Pilihannya ini mengundang perhatian masyarakat dan menjadi pengingat bahwa duka bisa mengubah arah hidup siapa saja, bahkan seorang dokter berprestasi sekalipun.
Kisah dokter Hafid lulusan UI ini kini viral dan menyentuh banyak hati. Pilihan hidupnya memperlihatkan bahwa pencapaian akademik dan kesuksesan karier tidak serta merta menjamin kebahagiaan batin seseorang.