Awalnya berkembang sebagai ajang kreativitas dan gengsi antar pemilik sound system, kini sound horeg telah menjadi industri hiburan tersendiri dengan nilai sewa yang mencapai puluhan juta rupiah dan menjadi sumber mata pencaharian bagi banyak pihak di baliknya.
Namun, di balik kemeriahannya, sound horeg telah memicu kontroversi dan konflik sosial yang tajam.
Tingkat kebisingan yang dihasilkan dapat mencapai lebih dari 120 desibel, jauh di atas ambang batas aman, sehingga menimbulkan risiko kerusakan pendengaran permanen, tinnitus, dan masalah kesehatan lainnya.
Selain itu, getaran yang kuat dilaporkan menyebabkan kerusakan fisik pada bangunan warga.
Konflik semakin memanas ketika muncul laporan mengenai iuran paksa hingga ratusan ribu rupiah per kepala keluarga dan tindakan intimidasi serta premanisme terhadap warga yang menolak atau memprotes, menciptakan iklim ketakutan di tengah masyarakat.
Menanggapi keresahan yang meluas, berbagai pihak mulai mengambil tindakan tegas.
Majelis Ulama Indonesia (MUI) Jawa Timur telah mengeluarkan fatwa haram terhadap penggunaan sound horeg yang menimbulkan kerusakan dan gangguan.
Di sisi pemerintahan, Pemerintah Provinsi Jawa Timur serta pemerintah kabupaten terkait seperti Kediri, kini tengah menyusun regulasi ketat untuk mengendalikan fenomena ini.
Aturan tersebut mencakup pembatasan desibel suara, jam operasional, dan spesifikasi teknis dengan tujuan mencari jalan tengah agar ekspresi kreatif tetap berjalan tanpa mengorbankan ketertiban umum, kesehatan, dan keselamatan warga.
Baca Juga: Kisah Random Emak-Emak Genit Jadi Bestie Pegawai Bank Ganteng di Jakarta