Setelah Megawati, Siapa? Peta Jalan Suksesi 'Takhta Banteng' yang Tak Terjawab di Kongres 2025

Tasmalinda Suara.Com
Minggu, 03 Agustus 2025 | 18:44 WIB
Setelah Megawati, Siapa? Peta Jalan Suksesi 'Takhta Banteng' yang Tak Terjawab di Kongres 2025
Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri menegur keras Bambang Pacul cs saat Kongres ke-6 PDIP di Bali Nusa Dua Convention Center, Badung, Bali, Sabtu (2/8/2025). [ANTARA]

Suara.com - Kongres VI PDI Perjuangan memang telah berakhir dengan satu kepastian yakni Megawati Soekarnoputri kembali menjadi nahkoda abadi partai berlambang banteng hingga 2030.

Namun, di balik tepuk tangan dan pekik "Merdeka!" yang menggema, sorot lampu panggung justru menyoroti sebuah drama bisu yang menjadi pertanyaan terbesar di panggung politik nasional lalu siapa penerus takhta PDI-P selanjutnya?

Pengukuhan Megawati secara aklamasi bukanlah akhir dari cerita, melainkan pembuka babak baru dari permainan catur suksesi yang kompleks.

Kongres di Bali, 2025 tidak memberikan jawaban pasti, tetapi justru menebar banyak kode dan sinyal khusus.

Ini bisa jadi analisis peta jalan suksesi yang tak terlihat itu.

1. Bahasa Tubuh di Barisan Depan: Sinyal untuk Puan dan Ganjar

Politik seringkali adalah tentang apa yang tidak diucapkan. Selama kongres, dua nama yang selalu disebut sebagai calon penerus—Puan Maharani dan Ganjar Pranowo—menunjukkan dinamika yang menarik.

Puan Maharani ialah sebagai putri mahkota biologis dan ideologis, posisinya selalu berada di pusat gravitasi kekuasaan.

Duduk berdampingan dengan sang ibu, interaksinya dengan Megawati terlihat formal namun penuh makna.

Baca Juga: Pengamat: Hasto Jadi Beban PDIP Jika Kembali Menjadi Sekjen

Gesturnya sebagai Ketua DPR RI yang memimpin para elite partai memberikan sinyal kuat tentang posisinya yang sudah matang dalam struktur kekuasaan.

Puan sebenarnya adalah pewaris de jure.

Sedangkan Ganjar Pranowo dengan popularitasnya yang masih kuat di akar rumput, hadir sebagai representasi kekuatan elektoral.

Meski tidak selalu berada di sisi Megawati, kehadirannya yang disambut hangat oleh banyak kader DPC menunjukkan bahwa ia adalah aset penting yang tak bisa diabaikan.

Ia adalah pewaris de facto dari basis massa.

Bahasa tubuh mereka—siapa yang lebih sering diajak bicara oleh Megawati, siapa yang lebih banyak berinteraksi dengan kader daerah—menjadi kode keras yang ditafsirkan para pengamat sebagai bagian dari "audisi" jangka panjang.

2. Syarat Tak Tertulis: Apakah Wajib Trah Soekarno?

Ini adalah dilema terbesar PDI-P. Megawati bukan sekadar ketua umum; ia adalah perekat ideologi dan simbol hidup dari trah Soekarno.

Pertanyaannya, apakah pemimpin selanjutnya wajib berasal dari garis keturunan yang sama?

Argumen mereka yang pro trah juga menjadikan banyak kader senior meyakini bahwa hanya trah Soekarno yang bisa menjaga soliditas dan kemurnian ideologi partai.

Ini menempatkan Puan Maharani dan Prananda Prabowo yang merupakan putra Megawati yang bekerja di balik layar sebagai kandidat utama.

Sedangkan argumen kontra trah: Di sisi lain, tantangan politik modern menuntut pemimpin dengan elektabilitas tinggi.

Figur seperti Ganjar dianggap mampu membawa suara lebih luas, meskipun bukan dari keluarga inti Soekarno.

Mungkinkah PDI-P mendobrak tradisi demi kemenangan elektoral?

3. Jangan lukapakan pada loyalis transisi

Di tengah persaingan Puan dan Ganjar, beberapa tokoh senior bisa muncul sebagai "kuda hitam" atau figur transisi.

Nama-nama seperti Pramono Anung, Olly Dondokambey, hingga Hasto Kristiyanto yang baru saja kembali, memiliki loyalitas dan pengalaman yang teruji.

Mereka bisa menjadi figur "penjaga takhta" sementara, yang mempersiapkan transisi kekuasaan yang lebih mulus di masa depan untuk menghindari perpecahan.

Mengapa Suksesi Belum Dilakukan Sekarang?

Jawaban paling logis adalah stabilitas.

Di tengah dinamika baru menghadapi pemerintahan Prabowo Subianto, PDI-P membutuhkan satu komando yang tak terbantahkan.

Sosok Megawati adalah satu-satunya figur yang mampu meredam potensi faksi-faksi internal.

Memaksakan suksesi saat ini berisiko memecah partai menjadi kubu Puan, kubu Ganjar, atau kubu lainnya.

Dengan menunda suksesi, Megawati memberikan waktu bagi para calon penerus untuk terus mematangkan diri, sekaligus menjaga soliditas partai sebagai "mitra strategis" yang kritis terhadap pemerintah.

Kongres VI mungkin telah menutup pintu kontestasi, namun ia membuka spekulasi dan strategi di balik layar.

Pertarungan sesungguhnya baru saja dimulai.

Menurut Anda, siapa yang paling siap untuk memimpin PDI Perjuangan setelah era Megawati berakhir?

Puan, Ganjar, atau ada kuda hitam lain?

Bagikan analisis Anda di kolom komentar!

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI