Suara.com - Fenomena pengibaran bendera Jolly Roger dari anime populer One Piece memicu perdebatan panas di kalangan masyarakat.
Di satu sisi dianggap sebagai ekspresi kreatif penggemar, di sisi lain dicap sebagai simbol perlawanan yang berpotensi makar.
Mengapa bendera dari dunia fiksi ini bisa berujung pada tuduhan serius?
Aksi yang bagi para Nakama (sebutan untuk penggemar One Piece) adalah bentuk euforia dan solidaritas, ternyata memantik reaksi keras dari berbagai pihak.
Pengibaran bendera One Piece mendapat respons anggota dewan dan pejabat pemerintah. Tuduhan yang dilayangkan pun tak main-main yakni makar.
Lantas, bagaimana bisa sebuah simbol dari budaya pop Jepang ini dianggap sebagai ancaman terhadap kedaulatan negara?
Makar menurut hukum Indonesia
Untuk memahami akarnya, perlu melihat definisi "makar" dalam hukum Indonesia. Istilah ini sering kali multitafsir, namun intinya merujuk pada tindakan yang mengancam keamanan dan kedaulatan negara.
Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), pasal-pasal tentang makar mencakup:
Baca Juga: Negara Turun Tangan, Kibarkan Bendera One Piece Saat 17-an Dianggap Makar?
Makar terhadap Presiden/Wapres (Pasal 104 KUHP): Niat untuk membunuh atau merampas kemerdekaan pimpinan negara.
Makar Separatis (Pasal 106 KUHP): Upaya untuk memisahkan sebagian wilayah negara dari NKRI.
Makar Menggulingkan Pemerintah (Pasal 107 KUHP): Niat untuk menggulingkan pemerintahan yang sah, biasanya dengan kekerasan.
Kunci dari delik makar adalah adanya niat (mens rea) dan permulaan pelaksanaan (actus reus) untuk menyerang atau menggulingkan tatanan negara yang sah.
Salah tafsir simbol: ketika fiksi dianggap subversi
Polemik muncul ketika bendera One Piece ditafsirkan bukan sebagai atribut fandom, melainkan sebagai simbol perlawanan terhadap negara. Beberapa pejabat publik menyuarakan keprihatinan ini.