Suara.com - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) memberikan jawaban telak atas kritik yang dilontarkan Ketua Umum Partai NasDem, Surya Paloh, mengenai teknis Operasi Tangkap Tangan (OTT).
Lembaga antirasuah ini menegaskan bahwa penangkapan Bupati Kolaka Timur, Abdul Azis, yang juga merupakan kader NasDem, telah sepenuhnya sesuai dengan prosedur hukum yang berlaku, sekaligus menepis keraguan yang sengaja diembuskan ke publik.
Polemik ini bermula dari pernyataan Surya Paloh yang mempersoalkan terminologi OTT yang dilakukan di lokasi berbeda.
Menjawab hal tersebut, KPK tidak tinggal diam. Melalui Pelaksana Tugas Deputi Penindakan dan Eksekusi, Asep Guntur Rahayu, KPK membeberkan kronologi penangkapan yang terkoordinasi dan terukur.
Asep menjelaskan bahwa dasar hukum "tangkap tangan" tidak sesempit yang dibayangkan. Prosedur ini sah dilakukan ketika seseorang ditemukan saat melakukan tindak pidana, atau sesaat setelahnya.
“Tangkap tangan itu sendiri misalkan karena ditemukan pada saat terjadinya tindak pidana orang itu, atau sesaat setelahnya diteriakkan oleh khalayak ramai bahwa dia adalah pelakunya, atau pada saat ditemukan bukti-bukti padanya,” ujar Asep Guntur Rahayu di Gedung Merah Putih KPK, Sabtu (9/8/2025) dini hari.
Penjelasan ini secara implisit mementahkan argumen bahwa OTT harus selalu terjadi dalam satu lokasi di mana pemberi dan penerima ditangkap bersamaan.
Kronologi Operasi Senyap di Tiga Kota
Untuk memberikan gambaran utuh, Asep merinci bagaimana operasi penyergapan terhadap Abdul Azis (ABZ) dirancang.
Baca Juga: Tantang KPK Jelaskan Istilah OTT, Surya Paloh Minta Fraksi Nasdem di Komisi III DPR Gelar RDP
Semua berawal dari surat perintah penyelidikan kasus dugaan korupsi terkait pembangunan rumah sakit umum daerah (RSUD) di Kolaka Timur yang terbit pada awal 2025.
Memasuki pertengahan Juli 2025, tim penyelidik KPK mencium adanya pergerakan yang semakin intens. Informasi yang masuk mengindikasikan peningkatan komunikasi dan adanya proses penarikan sejumlah dana yang diduga kuat akan diserahkan kepada beberapa pihak terkait proyek tersebut. Sinyal ini menjadi lampu hijau bagi KPK untuk bergerak.
“Menindaklanjuti hal tersebut, kami melakukan atau membagi tim menjadi tiga tim,” kata Asep.
Tiga tim ini disebar ke tiga lokasi strategis yang berbeda: Jakarta, Kendari (Sulawesi Tenggara), dan Makassar (Sulawesi Selatan).
Ini bukanlah operasi yang terpisah, melainkan sebuah strategi jaring laba-laba yang dirancang untuk menangkap semua pihak yang terlibat dalam satu rangkaian waktu yang berdekatan.
“Jakarta disentuh dulu dapat orangnya, kemudian di Kendari disentuh dulu dapat orangnya. Dari situ didapatkan informasi bahwa penyerahan uang maupun barang kemudian juga perintah-perintah yang diberikan itu kepada saudara ABZ juga. Walaupun memang dari informasi awal sudah kami ketahui,” papar Asep.