Bukan hal yang aneh jika proyek semacam ini juga mendapat dukungan dalam bentuk sponsor dari berbagai pihak, termasuk badan usaha milik negara (BUMN) atau bahkan dukungan non-finansial dari lembaga pemerintah terkait yang berkepentingan untuk mempromosikan nilai-nilai nasionalisme.
Jadi, sumber dana Rp 6,7 miliar ini bisa jadi strategi pendanaan kolektif dari sebuah organisasi profesi.
Namun, fakta ini justru melahirkan pertanyaan baru yang lebih mendalam: apakah keputusan untuk memproduksi film secara "gotong royong" dan terburu-buru ini merupakan langkah strategis, atau justru sebuah pertaruhan yang merusak reputasi para produser itu sendiri di mata publik yang kini semakin kritis?