Suara.com - Bupati Pati, Sudewo, akhirnya resmi membatalkan rencana kenaikan Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan (PBB-P2) sebesar 250 persen. Keputusan ini diambil setelah gelombang protes masif dari warga, yang bahkan mendapat perhatian dari Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian dan Ketua Partai Gerindra Jawa Tengah Sudaryono.
Namun, pembatalan tersebut tampaknya belum cukup untuk mendinginkan suasana. Nasi sudah menjadi bubur. Kekecewaan warga terhadap kepemimpinan Sudewo yang dianggap arogan sudah terlanjur meluas dan menjadi pemicu utama kemarahan yang belum usai.
Gaya Komunikasi yang Menyakiti Hati Rakyat
Bagi banyak warga Pati, masalahnya bukan lagi sekadar angka kenaikan PBB, melainkan sikap Bupati Sudewo dalam merespons kritik. Eva, seorang wiraswasta di daerah itu, menyoroti gaya komunikasi Sudewo yang sempat menantang warganya untuk mendatangkan 50 ribu orang jika ingin memprotes kebijakannya.
“Yang paling tidak saya suka, dia bupati, seharusnya tutur bicaranya tidak seperti itu,” kata Eva.
Sentimen ini mewakili banyak suara warga yang merasa pemimpin mereka seharusnya lebih bijak dan merangkul, bukan menantang.
Lonjakan Pajak di Lapangan Jauh Lebih Gila
Meski narasi resmi menyebut kenaikan 250 persen, realita di lapangan menunjukkan angka yang jauh lebih fantastis dan mencekik. Taufik, warga Pati yang aktif di media sosial, menemukan kasus seorang ibu yang tagihan PBB-nya melonjak dari Rp 20 ribu menjadi Rp 148 ribu atau dengan kenaikan 640 persen.
Bahkan Sri, seorang guru, kaget saat PBB tanah kosong milik orang tuanya naik 900 persen, dari Rp 3.000 menjadi Rp 30.000.
Baca Juga: Sosok Ahmad Husein, Inisiator Aksi Tolak Kenaikan PBB 250 Persen di Pati
“PBB naik sangat meresahkan masyarakat, apalagi bagi orang lanjut usia yang tidak punya penghasilan tetap,” keluhnya.
Lonjakan yang tak masuk akal ini membuat warga merasa kebijakan dibuat tanpa pertimbangan matang.
“Kenaikan PBB maklum saja untuk pengembangan Pati, tapi rasanya langsung menekan rakyat, kami tidak ada persiapan. Kami tidak selalu memegang uang,” ujar Eva.
Api Protes yang Terus Menyala
Kekecewaan yang menumpuk ini membuat seruan untuk aksi unjuk rasa pada 13 Agustus mendatang tetap menggema, meski kenaikan PBB telah dibatalkan. Taufik, salah satu motor penggerak demo, menegaskan posisinya.
“Masih tetap ingin demo, tidak mundur satu langkah pun. Alasannya, ingin ketemu bupati dan melengserkan,” ucapnya tegas.