Suara.com - Video momen dramatis seorang pelatih lumba-lumba bernama Jessica Radcliffe tewas diserang paus orca, viral di media sosial sejak 10 Agustus 2025.
Dalam narasi video berdurasi 26 detik itu disebutkan bahwa peristiwa itu terjadi di sebuah taman laut bernama Pacific Blue Marine Park, dan Jessica tengah dalam masa menstruasi.
Potongan video yang diunggah di TikTok, Facebook, dan X ini memicu gelombang kepanikan dan empati publik. Namun, penelusuran yang dilakukan Suara.com membuktikan bahwa kisah ini sepenuhnya fiktif.
Tidak ada catatan resmi mengenai keberadaan Jessica Radcliffe, baik dalam database tenaga kerja, arsip berita, maupun obituari publik. Demikian pula, “Pacific Blue Marine Park” tidak pernah terbukti ada.
Para ahli forensik digital yang menganalisis video tersebut menemukan tanda-tanda jelas manipulasi berbasis kecerdasan buatan—mulai dari gerakan air yang tidak wajar, audio datar khas sintetis, hingga detail visual yang kabur dan proporsi tubuh tidak normal.
Yang membuat hoaks ini terasa meyakinkan adalah kemampuannya memanfaatkan ingatan kolektif publik terhadap tragedi nyata yang pernah terjadi.
Insiden mematikan melibatkan orca memang benar-benar pernah terjadi, seperti kasus pelatih SeaWorld Orlando, Dawn Brancheau, yang tewas pada 2010 akibat serangan orca bernama Tilikum.
Ada pula Alexis Martínez yang meninggal pada 2009 di Loro Parque, Spanyol, serta Keltie Byrne yang tewas pada 1991 di Kanada.
Peristiwa-peristiwa itu terdokumentasi luas, memiliki saksi, laporan investigasi resmi, dan liputan media internasional—berbeda jauh dengan kisah Jessica Radcliffe yang tak memiliki jejak bukti.
Baca Juga: Rekaman Detik-Detik Lion Air Jatuh Mirip Kabar Jessica Radcliffe Tewas, Banyak yang Percaya
Penyebaran hoaks ini juga dipicu oleh faktor psikologis dan teknologi. Video tersebut memadukan ketakutan dan simpati, dua emosi kuat yang kerap mendorong orang membagikan konten tanpa berpikir panjang.
Algoritma media sosial turut mempercepat penyebaran dengan mengutamakan konten sensasional yang ramai dibicarakan. Di sisi lain, kemajuan teknologi AI memungkinkan pembuatan video palsu yang begitu realistis sehingga batas antara fakta dan rekayasa semakin tipis.
Fenomena ini menjadi pengingat bahwa tragedi fiktif dapat terasa nyata bila dikemas dengan elemen emosional yang tepat dan dibungkus menggunakan teknologi canggih.
Publik diimbau untuk selalu memeriksa sumber informasi, mengedepankan verifikasi sebelum membagikan konten, dan memahami bahwa tidak semua yang viral di dunia maya adalah kenyataan. Dalam era di mana tragedi nyata bisa dijadikan bahan cerita palsu, kewaspadaan digital menjadi pertahanan utama.