Suara.com - Rabu, 13 Agustus 2025, jalanan Utama di Kota Pati, Jawa Tengah menjadi saksi bisu tumpah ruahnya massa yang diperkirakan mencapai puluhan ribu orang menggelar unjuk rasa.
Bukan sekadar unjuk rasa, aksi ini merupakan penegasan pernyataan kolektif yang menuntut Bupati Sudewo mundur dari jabatannya.
Meskipun pemicu utama, yaitu kenaikan Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) hingga 250 persen, telah dibatalkan, api kekecewaan publik terlanjur menyala hingga membakar tumpukan persoalan lain yang dianggap meresahkan.
Riak perlawanan yang mengakar di Pati hari ini bukanlah fenomena baru.
Perlawanan warga kali ini merupakan gema semangat yang telah berusia lebih dari satu abad.
Sebuah DNA perlawanan yang diwariskan oleh kaum Samin, pengikut Samin Surosentiko, yang menentang kesewenang-wenangan pemerintah kolonial Belanda dengan cara yang unik dan membekas dalam sejarah Indonesia.
Spirit Samin Melawan Kolonial
Nama Samin Surosentiko, seorang petani dari Randublatung, Blora, menjadi momok gerakan bagi Pemerintah Kolonial Belanda.
Samin memulai gerakannya menjelang pergantian abad 19, tepatnya pada tahun 1890.
Baca Juga: Desak Bupati Sudewo Mundur, Ini 5 Tuntutan Rakyat di Aksi Demo Pati 13 Agustus 2025
Ajaran Samin menarik simpati para petani yang merasa tertindas oleh kebijakan Pemerintah Hindia-Belanda.
Dalam buku Sejarah Nasional Indonesia jilid IV, dijelaskan bahwa gerakan ini lahir dari tekanan ekonomi yang berat.
"Orang-orang Samin itu bergerak dan menentang pemerintah karena tekanan ekonomi yang disebabkan oleh kebijakan-kebijakan Pemerintah Hindia-Belanda dalam menjalankan politik kolonialnya, karena mayoritas orang Samin adalah petani," tulis Marwati Djoened Poesponegara dan Nugroho Notosusanto.
![Samin Surosentiko, pahlawan nasional yang juga tokoh perlawanan di Pantai Utara Jawa melawan Pemerintahan Kolonial Belanda. [Times Indonesia]](https://media.suara.com/pictures/653x366/2025/08/13/78559-samin-surosentiko.jpg)
Kebijakan yang ditentang kaum Samin adalah pungutan pajak yang mencekik dan kerja paksa (rodi).
Perlawanan mereka semakin intens ketika Belanda memperketat penguasaan atas hutan jati, sumber daya vital bagi masyarakat.
"Rakyat dilarang untuk memasuki hutan-hutan tanpa izin, lebih-lebih untuk memungut hasilnya. Selain itu juga adanya penindasan terhadap orang-orang Samin. Orang Samin dikerahkan untuk kerja bakti yang aslinya adalah kerja rodi," tulis buku tersebut.
Gerakan ini mencapai puncaknya di Pati ketika menantu Samin, Pak Karsiyah, mengajak rakyat Kayen untuk menentang pemerintah dan menamakan diri sebagai Pangeran Sendang Janur.
Sementara di Kecamatan Tambakromo, warga serentak menolak membayar pajak—sebuah aksi pembangkangan sipil yang menjadi ciri khas mereka.
Pati Membara: Tuntutan Mundur dan Gelombang Kekecewaan
Lebih dari seabad kemudian, jalanan Pati kembali menjadi saksi bisu perlawanan.
Aliansi Pati Bersatu, yang dikoordinasi oleh Teguh Istyanto, menegaskan bahwa pembatalan kenaikan PBB tidak cukup untuk memadamkan amarah.
Kekecewaan telah terakumulasi dari serangkaian kebijakan Bupati Sudewo yang dinilai tidak populis. Teguh menyoroti kebijakan lima hari sekolah dan regrouping (penggabungan) sekolah yang berdampak pada nasib guru honorer.
"Itu pasti ada dampaknya bagi guru honorer kalau ada dua sekolah menjadi satu pasti ada guru tidak bisa untuk mengabdi menjadi guru," papar Teguh.
Isu lain yang menjadi sorotan adalah pemutusan hubungan kerja (PHK) ratusan karyawan honorer RSUD RAA Soewondo tanpa pesangon, yang diikuti dengan rekrutmen pegawai baru.
"Orang lama dikeluarkan tanpa pesangon, tanpa tali asih. Kemudian dia merekrut karyawan baru dengan alasan meningkatkan pelayanan," sambung Teguh.
Filosofi Perlawanan
Meski begitu yang membuat Gerakan Samin istimewa adalah filosofi perlawanannya, bergerak tanpa kekerasan fisik yang menjadikan sebuah anomali dalam sejarah perlawanan di Jawa.
"Gerakan Samin ini yang dapat dikatakan unik Sejarah Jawa. Ada beberapa aspek dari sikap Orang Samin yang patut dicatat di antara tanpa kekerasan, rajin, jujur, dan berhasil sebagai petani, serta menghargai sesama derajat, termasuk kaum wanita," catat buku sejarah tersebut.
Semangat ini terus hidup dalam komunitas Sedulur Sikep, pewaris ajaran Samin.
![Aksi ribuan warga di depan pendopo Kabupaten Pati, untuk menuntut Bupati Pati Sudewo agar mengundurkan diri dari jabatannya, di Pati, Jawa Tengah, Rabu (13/8/2025). [ANTARA/Akhmad Nazaruddin Lathif]](https://media.suara.com/pictures/653x366/2025/08/13/89231-demo-bupati-pati.jpg)
Menurut Tokoh Sedulur Sikep, Gunretno, perlawanan Samin adalah bentuk ketidaktaatan terhadap kebijakan yang tidak adil.
Namun, Gunretno mengungkapkan bahwa perlawanan Samin hari ini berfokus pada isu lingkungan.
Perjuangan melawan perusakan alam akibat tambang dan penggundulan hutan di Pegunungan Kendeng adalah manifestasi modern dari ajaran Samin.
Pengamanan Ketat dan Peringatan Aparat
Menghadapi demonstrasi masif hari ini, Rabu (13/8/2025), aparat keamanan tidak tinggal diam.
Sebanyak 2.684 personel gabungan dari kepolisian, TNI, dan instansi terkait diturunkan untuk mengawal jalannya aksi.
Kepala Polresta Pati, Kombes Pol Jaka Wahyudi, menyatakan bahwa pendekatan yang akan digunakan adalah profesional dan humanis.
"Pengamanan akan dilakukan secara profesional dan humanis. Kami tidak hanya fokus pada pengamanan massa, tetapi juga mengutamakan komunikasi yang baik agar situasi tetap terkendali tanpa gesekan," ungkapnya.
Aparat juga memberikan peringatan keras agar massa tidak membawa senjata tajam, minuman keras, atau benda berbahaya lainnya. Rekayasa lalu lintas disiapkan untuk meminimalisir dampak bagi masyarakat yang tidak terlibat aksi.
"Jangan terpancing provokasi. Tugas kita adalah menjaga, melindungi, dan mengayomi. Gunakan pendekatan persuasif terlebih dahulu sebelum langkah penegakan hukum," ujarnya.