Suara.com - Hotel di Kota Mataram saat ini mulai mengeluhkan penerapan royalty pemutaran music.
Pasalnya, penagihan royalty pemutaran music dari lembaga manajemen kolektif nasional (LMKN) ini sudah diterima sejak sebulan yang lalu dan takut tidak membayar karena sanksi yang dinilai berat.
General Manager Grand Madani Hotel, Rega Fajar Firdaus mengatakan tagihan royalty sudah masuk sebulan yang lalu ke hotel syariah yang dipimpinnya.
Dimana, nilai royalty yang harus dibayar yaitu sekitar Rp 4 jutaan.
“Kalau tagihan sendiri memang betul ya termasuk hotel saya Grand Madani hotel itu sejak bulan Juli kemarin sudah dikirimkan tagihan dari LMKN,” katanya Rabu (12/8/2025) siang.
Jika tidak kooperatif sambungnya, pelaku usaha akan dikenakan sanksi pidana selama 10 tahun dan denda sebesar Rp 4 miliar.
Sanksi pidana ini membuat para pelaku usaha terutama perhotelan di Kota Mataram merasa takut.
“Di situlah yang membuat para pengusaha ini gusar karena ada pemidanaan ini kenapa harus ada pidana gitu kan,” ujarnya.
Berdasarkan Keputusan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia No: HKI.2.OT.03.01 Tahun 2016.
Baca Juga: Sinyal Keras dari Pemerintah: Menteri Hukum Dukung WAMI Diaudit Buntut Keluhan Ari Lasso
Dari aturan ini penggunaan music di ruang public untuK tujuan komersial wajib membayar royalty kepada pencipta, penyanyi atau pemegang hak music terkait.
Adapun tarif royalty yang harus dibayar yaitu untuk kegiatan seminar dan konferensi komersil sebesar Rp 500 ribu per hari.
Restoran dan café yaitu sebesar Rp60 ribu per kursi per tahun, pub, bar dan bistro sebesar Rp180 ribu per M2, Bioskop sebesar Rp3,6 juta per layer per tahun, pameran dan bazar Rp1,5 juta per hari.
Sedangkan untuk konser music berbayar yaitu sebesar 2 persen dari hasil penjualan kotor tiket.
Namun jika gratis yaItu sebesar 1 persen dari jumlah tiket gratis.
Ia mengatakan, tidak hanya hotel Grand Madani, tagihan royalty itu dikirim ke beberapa hotel yang ada di ibukota Provinsi NTB ini.
Nilai royalty yang harus dibayarkan masing-masing hotel berbeda-beda.
Karena besaran royalty ini tergantung dari jumlah kamar masing-masing hotel.
“Beberapa hotel anggota kami AHM juga dikirimi tagihan juga,” katanya.
Ia mengakui, penagihan royalty ini memang ada aturannya sebagai dasar hukum.
Namun para pelaku usaha menyayangkan penagihan yang dilakukan Lembaga Manajemen Kolektif Nasional (LMKN) disebut secara tiba-tiba.
Karena sosialisasi yang dilakukan baru pada bulan Juni lalu.
“Saya sudah pernah diajak sosialisasi dari kantor kemenkumham bulan Juni tanggal 26 kalau enggak salah itu memang ada aturanya tertulis memang ada tagihan untuk royalti. Cuma entah kenapa kok baru sekarang ini kok baru diasosiasikan terus langsung muncul tagihan,” katanya.
Penagihan royalty ini dinilai belum ada perhitungan yang jelas. Karena pemutaran music diukur dengan adanya TV di masing-masing kamar.
Akan tetapi, hotel Melati juga mendapat surat penagihan pembayaran royalty padahal tidak ada fasilitas TV.
“Bagaimana kalau di hotel yang tidak ada TV atau musiK-musik nah dia tetap dari LMKN bersikeras bahwa di lobinya ada musik. Betul masih agak simpang siur sih kalau kita lihat terutama hotel hotel yang kelas bintang satu atau kelas melati ada yang di kamar enggak ada TV ada yang disurati juga ditagih juga,” katanya.
Dengan kondisi tersebut, pihaknya mempertanyakan dasar penagihan yang dilakukan oleh LMKN.
Bahkan salah satu anggota AHM sudah ada yang kena somasi.
“Mungkin hotel ini menolak membayar atau keberatan sudah menyampaikan keberatannya sehingga disomasi dari pihak LMKN ini,” tegasnya.
Ia berharap ada respons dari pemerintah terkait kondisi saat ini.
Pemerintah diminta untuk bisa menengahi persoalan royalty ini agar tidak merugikan para pelaku usaha.
Apalagi di tengah kebijakan saat ini dirasakan sangat memberatkan pelaku perhotelan.
“Peran pemerintah kita butuh untuk meluruskan hal ini. Ada beberapa hotel sudah membayar memilih untuk tidak berkonfrontasi tapi ada hotel yang tidak sanggup,” tutupnya.
Kontributor Buniamin