Suara.com - Spirit perlawanan tokoh pergerakan nasional, Marco Kartodikromo, kembali menggema di tengah riuhnya gejolak sosial di Kabupaten Pati, Jawa Tengah.
Filsafatnya yang legendaris, bahwa rakyat harus "mendidik penguasa dengan perlawanan", dinilai sangat relevan dan menjadi cermin atas gerakan masif warga Pati menolak kenaikan Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) yang dianggap mencekik.
Sosiolog sekaligus pengamat sosial, Dr. Okky Madasari, secara lugas menghubungkan gejolak di Pati dengan pemikiran tajam Marco.
Menurutnya, aksi warga Pati bukanlah sekadar protes biasa, melainkan sebuah manifestasi nyata dari pembangkangan sipil yang bertujuan memberi pelajaran kepada para pemegang kebijakan.
Dalam sebuah diskusi podcast yang disiarkan di kanal YouTube Forum Keadilan, Okky Madasari menegaskan bahwa perlawanan tersebut adalah bentuk pendidikan politik dari rakyat untuk pemimpinnya.
Gerakan ini menjadi pengingat bahwa kekuasaan tidak bersifat absolut dan harus selalu diawasi.
"Penguasa perlu dididik dengan perlawanan agar mereka mengoreksi diri dan sadar posisi mereka bukan sebagai raja," ujar Dr. Okky, menggaungkan kembali esensi pemikiran Marco Kartodikromo dikutip pada Kamis (14/8/2025).
Gejolak di Pati sendiri dipicu oleh kebijakan Pemkab yang menaikkan PBB hingga 250 persen.
Kebijakan ini sontak menuai protes keras dari berbagai elemen masyarakat yang merasa tidak dilibatkan dan terbebani, terlebih karena tarif PBB di Pati diketahui tidak pernah naik selama 14 tahun.
Baca Juga: Kemenangan Rakyat Pati, Sinyal Pembangkangan Sipil yang Berpotensi Menular
Gelombang protes memuncak ketika puluhan ribu warga turun ke jalan, sebuah aksi yang akhirnya memaksa Bupati Pati, Sudewo, untuk membatalkan kebijakan tersebut.
Siapakah Marco Kartodikromo?
![Penulis dan Jurnalis Indonesia, Marco Kartodikromo. [Dok Wikipedia]](https://media.suara.com/pictures/653x366/2025/08/14/82003-marco-kartodikromo.jpg)
Bagi sebagian generasi muda, nama Marco Kartodikromo mungkin terdengar asing. Ia adalah seorang jurnalis, sastrawan, dan aktivis pergerakan nasional yang lahir di Blora pada tahun 1890.
Sezaman dengan Tirto Adhi Soerjo dan Tjipto Mangunkusumo, Marco dikenal dengan tulisan-tulisannya yang tanpa kompromi mengkritik pemerintah kolonial Belanda dan sistem feodalisme.
Karya-karyanya seperti novel Student Hidjo dan Rasa Merdika, serta tulisan-tulisannya di surat kabar Doenia Bergerak, dianggap sebagai "bacaan liar" oleh pemerintah kolonial karena berpotensi membangkitkan kesadaran dan perlawanan rakyat.
Karena aktivitas dan tulisannya yang vokal, ia berulang kali dijebloskan ke penjara hingga akhirnya diasingkan ke Boven-Digoel, Papua, di mana ia wafat pada 1932.
Filsafat perlawanannya lahir dari pengalaman melihat ketidakadilan dan penindasan secara langsung.
Pelajaran dari Pati untuk Indonesia
![Massa yang tergabung dalam Aliansi Masyarakat Pati Bersatu berunjuk rasa di depan Kantor Bupati Pati, Kabupaten Pati, Jawa Tengah, Rabu (13/8/2025). [ANTARA FOTO/Aji Styawan/tom]](https://media.suara.com/pictures/653x366/2025/08/13/94659-demo-pati-demo-besar-besaran-di-pati.jpg)
Kemenangan rakyat Pati dalam membatalkan kenaikan PBB menjadi preseden penting. Peristiwa ini, menurut Dr. Okky Madasari, menunjukkan bahwa perlawanan yang terorganisir dan masif memiliki kekuatan untuk memaksa penguasa mendengarkan aspirasi publik.
Meski kebijakan telah dibatalkan, pesan yang ditinggalkan jauh lebih besar.
Gerakan di Pati membuktikan bahwa rakyat bukanlah objek pasif dalam pemerintahan, melainkan subjek aktif yang memiliki daya tawar dan kekuatan untuk mengoreksi kebijakan yang keliru.
Di era keterbukaan informasi dan meningkatnya kesadaran politik, model perlawanan seperti di Pati berpotensi terulang di daerah lain jika penguasa abai terhadap suara warganya.
Fenomena ini menjadi sinyal keras bagi seluruh pejabat publik di Indonesia. Bahwa di balik legitimasi formal, terdapat kedaulatan rakyat yang sewaktu-waktu dapat menjelma menjadi gerakan sosial kuat ketika rasa keadilan mereka terusik.
Seperti yang diajarkan Marco seabad lalu, terkadang perlawanan adalah satu-satunya bahasa yang dipahami oleh kekuasaan.