Suara.com - Pemandangan kontras 180 derajat terjadi di sejumlah daerah terkait Pajak Bumi dan Bangunan (PBB). Saat warga di Pati, Jawa Tengah, ngamuk hingga ricuh dan warga Cirebon, Jawa Barat, menjerit akibat kenaikan pajak gila-gilaan, warga DKI Jakarta justru menikmati diskon hingga pembebasan bayar.
Fenomena beda nasib ini sontak memicu amarah publik dan memaksa Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Tito Karnavian untuk turun tangan.
Di Cirebon, keluhan warga meledak setelah tagihan PBB mereka melonjak secara tidak masuk akal, bahkan ada yang naik hingga 1.000 persen. Salah satu warga melaporkan tagihannya membengkak dari Rp 6,2 juta menjadi Rp 65 juta. Pemerintah kota berdalih kebijakan ini adalah warisan dari era sebelumnya.
Kondisi tak kalah panas terjadi di Pati. Rencana kenaikan PBB sebesar 250 persen memicu demonstrasi besar-besaran yang berujung ricuh. Warga menuntut Bupati Sudewo mundur, dan aksi tersebut harus dibubarkan dengan gas air mata serta water canon.
Beda 180 Derajat, Jakarta Malah Obral Diskon
Saat daerah lain menaikkan pajak secara brutal, DKI Jakarta justru memilih jalan sebaliknya. Pemprov DKI di bawah Gubernur Pramono Anung memberikan paket insentif besar-besaran, antara lain:
- Diskon bayar dini hingga 10 persen.
- Keringanan tunggakan PBB tahun-tahun sebelumnya.
- Pembebasan sanksi administratif.
Yang paling mencolok, Jakarta bahkan memberikan skema bebas bayar bagi rumah tapak dengan Nilai Jual Objek Pajak (NJOP) di bawah Rp 2 miliar. Kebijakan ini diambil untuk menjaga daya beli warga di tengah tingginya biaya hidup.
Melihat gejolak di berbagai daerah, Mendagri Tito Karnavian akhirnya angkat bicara. Ia menegaskan dua prinsip utama yang harus dipegang kepala daerah; kebijakan pajak tidak boleh memberatkan dan harus dilakukan bertahap.
"Setiap mengeluarkan kebijakan yang berhubungan dengan pajak dan retribusi, jangan sampai memberatkan masyarakat. Lakukan bertahap saja,” kata Tito di Jakarta Utara, Kamis (14/8/2025).
Baca Juga: Kembali Digelar Tahun Ini, Mendag Gadang JMFW Jadi Penentu Arah Modest Fesyen Indonesia
Tito kini berjanji akan merekap data daerah-daerah dengan lonjakan PBB yang tidak wajar dan akan berkoordinasi langsung dengan para kepala daerah untuk melakukan evaluasi.
Secara hukum, UU Nomor 1 Tahun 2022 memang memberikan kewenangan lebih luas bagi pemerintah daerah untuk mengatur PBB. Namun, Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 35 Tahun 2023 juga memberikan syarat ketat.
Daerah wajib melakukan sosialisasi yang memadai dan harus memperhitungkan kemampuan ekonomi masyarakat sebelum menaikkan pajak. Kasus di Pati dan Cirebon seolah menjadi cermin bagaimana kewenangan besar ini dijalankan tanpa melihat kondisi rakyat, sehingga memicu gejolak sosial yang seharusnya bisa dihindari.