Suara.com - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) kini tengah menyidik kasus korupsi kuota haji 2024. Sejauh ini penyidik belum menetapkan satu pun tersangka.
Walau begitu, sudah ada tiga orang yang dicekal. Mereka ialah mantan Menteri Agama (Menag) Yaqut Cholil Qoumas, staf khusus Menteri Agama, Ishfah Abidal Aziz, dan pemilik Maktour Fuad Hasan Masyhur.
Selama sepekan penuh, sejak 9 hingga 15 Agustus 2025, lembaga antirasuah ini telah menggeledah sejumlah tempat mencari barang bukti.
Pada Jumat (15/8/2025), KPK menggeledah dua lokasi. Pertama di rumah mantan Menteri Agama, Yaqut Cholil Qoumas, di Jakarta Timur.
Pada saat yang sama, tim lain menyisir rumah seorang aparatur sipil negara (ASN) Kemenag di Depok, Jawa Barat. Operasi senyap ini bukan sekadar gertak sambal.
“Dari penggeledahan di dua lokasi itu, KPK menyita sejumlah dokumen, barang bukti elektronik, dan satu unit kendaraan roda empat,” ujar Juru Bicara KPK Budi Prasetyo.
Kantor pusat Kementerian Agama hingga kantor-kantor biro perjalanan haji swasta tak luput dari obrak-abrikan penyidik. Hasilnya pun signifikan.
“Selama sepekan ini, penyidik melakukan serangkaian kegiatan penggeledahan di beberapa lokasi... KPK menyita satu unit kendaraan roda empat, beberapa aset properti, dokumen, dan barang bukti elektronik yang menjadi petunjuk untuk membuat terang perkara tersebut,” tambah Budi.
KPK juga menyampaikan sedang berkomunikasi dengan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) RI untuk menghitung kerugian keuangan negara dalam kasus tersebut.
Baca Juga: KPK Buka Kunjungan Tahanan Spesial HUT RI: Ini Jadwal dan Aturannya
KPK pada 11 Agustus 2025, mengumumkan penghitungan awal kerugian negara dalam kasus tersebut mencapai Rp1 triliun lebih.
Temuan Pansus Haji
Kasus korupsi kuota haji 2024 ini mencuat pertama kali setelah DPR RI mencium adanya ketidakberesan dalam pembagian kuota tambahan bagi haji khusus di tahun 2024.
Saat itu Pemerintah Arab Saudi memberikan kuota tambahan 20 ribu bagi jemaah haji Indonesia. Oleh Kementerian Agama, kuota itu lalu dibagi menjadi 50:50 yaitu 10 ribu untuk haji reguler dan 10 ribu untuk haji khusus.
Tindakan Kementerian Agama ini dinilai menyalahi Pasal 64 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2019 tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji dan Umrah, yang mengatur kuota haji khusus sebesar 8 persen, sedangkan 92 persen untuk kuota haji reguler.
DPR RI lalu membentuk Pansus Angket Haji. Dari temuan pansus, diketahui ada 3.503 jemaah haji khusus yang berangkat dengan 0 tahun atau baru daftar tetapi langsung ikut haji khusus tahun 2024 alias berangkat haji tanpa perlu antre.
"Fakta bahwa terdapat 3.503 jemaah haji khusus yang berangkat tanpa melalui antrian normal atau "0 tahun" memperlihatkan adanya pelanggaran dalam sistem pengelolaan antrian yang seharusnya adil dan transparan," tulis laporan Pansus Haji.
Menurut Pansus Haji, pengisian kuota tambahan haji khusus cenderung dipengaruhi oleh kepentingan bisnis penyelenggara ibadah haji khusus (PIHK), dalam hal ini perusahaan travel, bukan berdasarkan sistem antrean yang adil dan transparan.
Pansus Haji menyebut PIHK memiliki keleluasaan penuh untuk menentukan jemaah mana yang akan mendapatkan porsi tambahan, tanpa adanya kontrol yang jelas dari Kementerian Agama.
Artinya PIHK membagi kuota haji khusus tambahan berdasarkan siapa yang sanggup membayar dengan tarif yang sudah ditentukan.
Temuan pansus menyebutkan ada jemaah calon haji khusus yang diminta membayar USD 21.950 paling lama dalam 2 minggu jika ingin berangkat haji lebih cepat.
Proses ini mencerminkan kurangnya pengawasan negara dalam memastikan bahwa pelaksanaan kuota haji khusus memenuhi prinsip keadilan bagi semua calon jemaah.
"Hal ini bertentangan dengan Pasal 9 dan Pasal 64 UU No. 8 Tahun 2019 yang menegaskan bahwa kuota tambahan haji adalah kewenangan Menteri Agama, dan harus diatur dengan mekanisme yang jelas dan akuntabel," tulis pansus haji dalam laporannya.