Suara.com - Pertarungan antara Gubernur Jawa Barat Dedi Mulyadi melawan delapan organisasi sekolah swasta di Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) makin meruncing.
Setelah hakim merekomendasikan jalan damai, Dedi Mulyadi justru memasang tembok penolakan yang tinggi.
Sikap keras sang gubernur, lengkap dengan analogi menohok, membuat drama kebijakan penambahan rombongan belajar (rombel) ini dipastikan akan terus berlanjut.
Berikut adalah 5 poin kunci yang perlu kamu tahu dari perseteruan panas ini dilansir dari Antara.
1. Akar Masalah: Kebijakan 'Kelas Gemuk' 50 Siswa
Semua ini berawal dari Keputusan Gubernur Jabar Nomor 463.1/Kep.323-Disdik/2025. Kebijakan ini mengizinkan sekolah negeri (khususnya SMA) menambah jumlah siswa per kelas hingga 50 orang.
Tujuannya, menurut Pemprov, adalah untuk mencegah anak putus sekolah. Namun, delapan organisasi sekolah swasta melihatnya sebagai "ancaman" yang bisa menggerus jumlah pendaftar mereka, sehingga mereka melayangkan gugatan ke PTUN.
2. Tembok Penolakan: Dedi Mulyadi Ogah Mediasi Langsung
Saat PTUN merekomendasikan mediasi untuk mencari jalan tengah, Dedi Mulyadi menolaknya mentah-mentah. Baginya, keterlibatan langsung seorang gubernur tidak perlu karena ia sudah menunjuk tim kuasa hukum untuk menangani kasus ini dari A sampai Z.
"Gugatannya kan diminta mediasi. Mediasi itu kan sudah ada kuasa hukum. Ngapain gubernur, kan sudah ada kuasa hukum," tegas Dedi Mulyadi di Bandung, Jumat.
Baca Juga: Seteru 'Kelas Gemuk' Memanas: Dedi Mulyadi Tolak Mediasi, Sodorkan Analogi Warung dan Anak Jajan
3. Analogi Menohok: 'Anak Jajan vs Pemilik Warung'
Untuk menegaskan posisinya, Dedi Mulyadi melontarkan analogi tajam yang menyindir para penggugat. Ia mengibaratkan Pemprov sebagai orang tua, sekolah negeri sebagai anak, dan sekolah swasta sebagai pemilik warung.
![Puluhan guru sekolah swasta demo kebijakan penambahan rombongan belajar atau rombel yang menyebabkan puluhan sekolah swasta terancam tutup, selasa 15 Juli 2025. [ ANTARA/Desi Purnama Sari]](https://media.suara.com/pictures/653x366/2025/07/15/96511-puluhan-guru-sekolah-swasta-demo-kebijakan-penambahan-rombongan-belajar-atau-rombel.jpg)
"Saya melarang anak untuk keluar rumah dan jajan ke warung. Tiba-tiba warungnya mengalami penurunan pendapatan. Terus warungnya marah pada saya, menggugat saya karena melarang anak saya jajan, bisa enggak?" ucapnya.
Intinya, ia merasa kebijakan untuk "anaknya" (sekolah negeri) tidak bisa diganggu gugat oleh pihak lain.
4. Pihak Swasta Ingin 'Ngobrol Langsung', Bukan Perang
Sikap keras Dedi Mulyadi berbanding terbalik 180 derajat dengan harapan sekolah swasta. Kuasa hukum mereka, Alex Edward, justru sangat berharap bisa bertemu dan berdialog langsung dengan sang gubernur. Bagi mereka, mediasi adalah cara terbaik untuk mencari solusi, bukan untuk berperang di pengadilan.