Suara.com - Jumat 15 Agustus 2025, Suara Presiden Prabowo Subianto terdengar lantang dalam Sidang Tahunan MPR RI di Kompleks Gedung Parlemen, Senayan, Jakarta.
MANTAN Menteri Pertahanan di era Presiden Joko Widodo itu memaparkan impian sesungguhnya dari kemerdekaan yang telah diraih oleh para pendahulu, yakni mewujudkan Indonesia sebagai negara yang merdeka, berdaulat, adil, dan makmur.
"Negara yang sesuai dengan cita-cita pembentukan negara kita yang tercantum dalam pembukaan Undang-Undang dasar 1945, yaitu negara yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan perdamaian abadi dan keadilan sosial," tutur Prabowo.
Tak hanya lepas dari penjajahan, Prabowo menegaskan bahwa tujuan Indonesia kini bertambah setelah berhasil merebut kemerdekaaan, yakni merdeka dari kemiskinan.
"Tujuan kita merdeka adalah untuk merdeka dari kemiskinan, untuk merdeka dari kelaparan, merdeka dari penderitaan, negara kita harus bisa berdiri di atas kaki kita sendiri, negara kita harus berdaulat secara ekonomi dan mampu memenuhi kebutuhan pangan kita sendiri," kata Prabowo.
Bahkan, ia menegaskan bahwa tantangan besar Bangsa Indonesia saat ini, yakni menjaga dan mengelola kekayaan alam agar cita-cita kemerdekaan dapat terwujud.
Pernyataan kepala negara tersebut terkesan benar adanya. Banyak pekerjaan rumah yang harus diselesaikan meski sudah delapan dekade Indonesia memproklamirkan kemerdekaannya.
Namun keresahan serupa juga turut dirasakan kelompok masyarakat dari berbagai kelas sosial, seperti para wajib pajak yang rutin membayarkan kewajibannya kepada negara.
Patuh terhadap aturan membayar pajak sebagai kewajiban warga negara pun dijalani.
Baca Juga: Panggung Istana Tanpa Megawati: SBY dan Jokowi Hadir di HUT ke-80 RI, Ketua Umum PDIP Pilih Absen
Namun, bersamaan dengan itu, keresahan-keresahan dari lubuk hati mereka juga menyeruak, lantaran hak yang didapat tak sesuai dengan harapan mereka.
Seorang pekerja swasta, Kiki adalah salah satu potret warga negara yang patuh.
Ia tak masalah menunaikan kewajiban PPh 21 dengan keyakinan ikut berkontribusi dalam pembangunan.
Namun, ia merasa hak yang diterima belum sebanding dengan kewajiban yang telah diberikan.
"Secara pribadi sebagai wajib pajak, ya kemerdekaan saya belum dibarengi dengan hak yang diterima sebagai wajib pajak. Masih banyak yang harus diperbaiki," kata Kiki kepada Suara.com.
Ia menyoroti sistem perpajakan yang dinilai belum sepenuhnya mewujudkan keadilan sosial.
![Surat Pemberitahuan Pajak Terhutang Pajak Bumi dan Bangunan Perkotaan dan Pedesaan Kota Makassar [Suara.com/Muhammad Yunus]](https://media.suara.com/pictures/653x366/2025/08/15/26570-pajak-pbb.jpg)
"Saya rasa sistem perpajakan mungkin masih sulit diterima sebagai perwujudan keadilan sosial."
Menurutnya, Indonesia harus banyak belajar dari negara-negara yang berfokus pada kesejahteraan sosial.
"Beban pajak belum terdistribusi dengan baik, perhitungan ideal beban pajak seharusnya bisa belajar dari negara social welfare, tapi lagi-lagi, hal ini juga harus dibarengi dengan perbaikan pendapatan per kapita," tutur Kiki.
Beban Kelas Menengah
Pandangan senada disampaikan Azmi. Menurutnya, meski sistem perpajakan sudah menuju ke arah progresif, penerapannya belum merata dan seringkali lebih memberatkan kelas menengah.
"Beban pajak terkadang terasa lebih berat bagi masyarakat kelas menengah dibandingkan dengan korporasi besar yang memiliki celah untuk mengurangi kewajibannya. Keadilan sosial akan terasa bila semua pihak, besar maupun kecil, membayar pajak sesuai proporsinya tanpa privilese tersembunyi," kata Azmi.
Bagi mereka, kemerdekaan sejati adalah ketika pajak yang mereka bayarkan benar-benar menjelma menjadi kesejahteraan yang merata.
"Bagi saya, kemerdekaan bukan hanya terbebas dari penjajahan, tapi juga memiliki kemandirian ekonomi yang kuat. Pajak adalah salah satu wujud nyata partisipasi rakyat untuk membiayai pembangunan sehingga kemerdekaan akan terasa lengkap bila hasil pajak benar-benar kembali kepada rakyat dalam bentuk layanan publik yang berkualitas dan merata," kata Azmi.
Di tengah kekecewaan akibat ulah segelintir pejabat korup, keyakinan mereka tak goyah.
Mereka tetap membayar pajak, namun dengan tuntutan yang lebih kuat: transparansi dan akuntabilitas.
"Saya sadar, kasus korupsi yang melibatkan anggaran negara seringkali mengikis kepercayaan publik, namun, saya memilih tetap membayar pajak karena menghentikan kontribusi justru akan merugikan masyarakat luas."
Namun, Kiki masih berharap negara bisa berbuat adil dengan menindak tegas pelaku korupsi tanpa pandang bulu.
"Kepercayaan saya terjaga ketika ada transparansi, audit yang terbuka, dan sanksi tegas bagi pelaku penyalahgunaan anggaran, tanpa pandang bulu," tutur Azmi.
Artikel ini khusus dibuat Redaksi Suara.com dalam rangka perayaan HUT ke-80 Republik Indonesia.